Para petani Indonesia selalu berada pada posisi sebagai korban kebijakan negara. Kebijakan negara kolonial Belanda yang berkolaborasi dengan elit kerajaan lokal mengarahkan para petani agar menanam tanaman yang laku di pasar global. Ini bukan demi kesejahteraan petani, tetapi demi penggelembungan pundi-pundi pemodal asing Belanda dan negara kolonial itu sendiri. Demikian juga ketika pabrik gula didirikan di banyak titik pulau Jawa. Yang mengenyam kemakmuran adalah orang asing dan segelintir elit lokal yang menjadi antek mereka. Masyarakat petani tetap sengsara sampai-sampai mereka melakukan perlawanan maksimum, membakari tanaman tebu.
Kasus semacam ini terus berulang-ulang sampai hari ini. Menjadi petani identik menjadi orang rugi. Apa yang disebut sebagai revolusi hijau hanya menghasilkan kemelaratan dan ketergantungan. Petani menjadi tidak bisa mandiri, bahkan hanya untuk memilih jenis tanaman padi, memilih pupuk, memilih benih dan memilih pola tanam saja mereka nyaris tidak bisa. Semua sudah diseragamkan oleh negara. Barangsiapa menyimpang dan punya inisiatif alternatif tanamannya bakal dibabat oleh aparat keamanan. Kasus ini banyak terjadi di zaman Orde Baru. Setelah itu dengan kebijakan negara untuk mengimpor beras dan produk pertanian lain justru menguntungkan negara lain dan hampir melumpuhkan para petani dalam negeri. Perubahan di perdagangan global untuk produk pertanian sering membingungkan para petani. Petani merasa tanpa pelindung. Mereka marah diam-diam dan melakukan protes.Banyak petani menebangi tanaman cengkeh atau terpaksa menelan kepahitan ketika kebun karetnya dibakar orang agar kemudian dapat dijadikan area penanaman sawit oleh pemodal besar. Ada petani yang marah membuang hasil pertanian dan menginjak-injaknya di jalan raya. Dalam kondisi seperti ini negara tetap memalingkan muka dari petani. Para petani yang telah dikalahkan dan dipurukkan nasibnya selama berabad-abad menjadi makhluk tanpa pembela.
Pada kondisi seperti ini, advokasi model Al-Ma’un perlu segera dilakukan. Muhammadiyah sebagai bagian dari kekuatan masyarakat perlu tampil melakukan pembelaan terhadap petani. Dan sebelum melakukan pembelaan, agaknya pemetaan masalah perlu dilakukan terlebih dahulu. Ini untuk menentukan langkah strategis dan langkah sinergis apa yang tepat. Sebab di lapangan terbukti, pemberdayaan petani secara parsial tetap tidak dapat mengubah posisi petani sebagai korban kebijakan negara. Diperlukan pemberdayaan yang sinergis, mulai dari hulu sampai ke hilir yang menyangkut perikehidupan bertani itu sendiri. Pendekatan makro dan mikro, pendekatan kultural dan struktural dengan mengembangkan semua potensi menjadi kegiatan aktualisasi berupa aksi-aksi pemberdayaan yang mendasar, efektif dan berjangka panjang. Lantas bagaimana semua ini dapat dilakukan oleh Muhammadiyah bersama masyarakat petani itu sendiri?
0 Responses to “ADVOKASI UNTUK PETANI”:
Posting Komentar