Metallic Text Generator at TextSpace.net

VALENTINE’S DAY : HARAM



Cinta Kasih Berkedok Ajaran Tuhan Yang Merusak Akidah Umat Islam[1]
Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I.[2]
           
Ada satu fenomena menarik di kalangan masyarakat kita, khususnya pada  bulan Februari. Ada pemandangan yang khas di berbagai media massa, mal-mal, pusat-pusat hiburan.  Tidak sedikit sarana dan media publik berlomba menarik perhatian para remaja dengan menggelar pesta perayaan yang tak jarang berlangsung hingga larut malam bahkan hingga dini hari. Semua pesta tersebut bermuara pada satu hal yaitu Valentine's Day. Biasanya mereka saling mengucapkan "selamat hari Valentine", berkirim kartu dan bunga, saling bertukar pasangan, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta.

Sejarah Valentine’s Day
            Tentang asal usul valentine’s day The Catholic Enciclopedia for School and Home (New York, May 14, 1965) menjelaskan sedikitnya tiga versi berikut; Pertama,  seorang pendeta bernama valentine yang hidup pada akhir abad ke-4 M, di bawah kekuasaan kaisar romawi cladius II. Tepatnya pada tanggal 14 pebruari dijatuhi hukuman mati oleh kaisar. Pasalnya, sang pendeta membangkang perintah kaisar. Perintah apa gerangan? Kaisar mengetahui bahwa dengan diam-diam pendeta valentine menyebarkan agama kristen. Versi inilah yang paling populer di dalam literature-literature Kristen. Kedua, bahwa Kaisar Caludius berkeyakinan bahwa tentara-tentara yang masih lajang, mempunyai semangat dan militansi yang jauh lebih besar dari mereka yang sudah beristri. Atas dasar itulah, Kaisar mengeluarkan ultimatum yang berisi larangan penyelenggaraan perkawinan. Namun kenyataannya pendeta Valentine melanggar maklumat Kaisar dan dengan diam-diam dia menikahkan orang di gereja. Kegiatan terselubung itu akhirnya tercium oleh Kaisar. Sang pendeta pun di penjarakan.
            Di dalam penjara, pendeta Valentine berkenalan dengan seorang wanita yang kala itu sedang menderita sakit. Wanita tersebut,  atas permintaan ayahnya yang tidak lain adalah salah seorang penjaga rumah penjara, disembuhkan berkat pengobatan sang pendeta. Diam-diam terjalinlah hubungan asmara antara wanita itu dan pendeta. Atas dasar ini Pendeta tersebut divonis hukuman mati. Sebelum pendeta Valentine menjalankan hukuman mati, dia sempat berkirim sebuah kartu yang bertuliskan ”Dari Valentine Yang Setia” kepada si jantung hati. Hal ini terjadi setelah si wanita berhasil mengkristenkan 46 orang anggota keluarganya.
            Ketiga, versi yang menerangkan bahwa ketika agama kristen mulai tersebar di Eropa, sebuah tradisi romawi baru berkembang di kalangan muda-mudi. Pada setiap tengah bulan Febuari, mereka melakukan pertemuan bersama. Ditulisnya nama-nama gadis dari kampung mereka, masing-masing pada secarik kertas, lalu dimasukkan ke dalam kotak. Pemuda-pemuda kampung, secara bergiliran mengambil secarik kertas dan gadis yang namanya tertera dalam kertas, akan menjadi kekasihnya sepanjang tahun. Sang pemuda akan segera mengirim kartu kepada gadis yang menjadi kekasihnya dengan tulisan “Atas nama Para Dewi, Aku Kirimkan Kepadamu Kartu Ini”. Dan terjalinlah hubungan kasih sayang antara keduanya hiangga akhir tahun.
            Para pendeta keristen menilai, bahwa tradisi seperti ini akan menguatkan kepercayaan romawi, dan akan menjadi pekerjaan yang sulit untuk menghilangkannya. Maka, mereka memutuskan –dari pada menghapus tradisi itu--akan lebih baik jika redaksi ungkapan cinta kasih “Atas Nama Para Dewi” itu akan diganti dengan “Atas Nama Pendeta Valentine”. Karena dalam pandangan para pendeta, redaksi tersebut mewakili simbol agama kristen, dan dengan demikian mereka telah berhasil mempertalikan para muda-mudi dengan ajaran kristen.
            Belakangan, peringatan “hari cinta kasih” itu di hiasi dengan kartu yang berilustrasi seorang bayi bersayap mengelilingi gambar jantung, sementera di sisi lain sebuah anak panah tertuju kepadanya. Inilah yang dianggap sebagai Dewa Cinta.[3]

Valentine’s Day sebagai Produk Kesyirikan (Paganisme)
Berdasarkan historical background yang diterangkan dalam Ensiklopedi Katolik  tersebut, Valentine’s Day sejatinya bersumber dari paganisme orang musyrik, penyembahan berhala dan penghormatan kepada pastor. Bahkan tak ada kaitannya dengan “kasih sayang” yang digemakan oleh Islam kita. Lalu kenapa kita masih juga menyambut Hari Valentine? Adakah ia merupakan hari yang istimewa? Bila demikian, berarti perayaan hari Valentine oleh sebagian saudara-saudara kita menjadi bukti kongkret betapa sebagian generasi kita telah membeo tanpa ilmu pengetahuan, ikut-ikutan mengekor budaya Barat dan acara ritual agama lain. Fakta inilah yang diisyaratkan oleh Rasulullah ’alaihissalam berikut ini :
لتتبعن سنن من كان قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا جحر ضب لاتّبعتموهم  . قلنا يا رسول الله اليهود والنصارى ؟ قال:  فمن !
Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kalian mengikutinya. Kami (para Sahabat) bertanya, “wahai Rasulullah, (apakah yang Engkau maksud itu Yahudi dan Nasrani?”. Beliau menjawab :”Siapa lagi?! (HR Bukhari)
Tidak berbeda dengan apa yang diriwayatkan oleh Abu Waqid radliallahu ‘anhu berikut;  ketika Rasulullah ‘alaihissalam keluar menuju perang Khaibar, beliau melewati sebuah pohon milik orang-orang musyrik yang disebut  Dzatu Anwath.  Biasanya untuk menggantungkan senjata. Para sahabat meminta, “Wahai Rasulullah, buatkan untuk kami Dzatu Anwath, sebagaimana mereka mempunyai Dzatu Anwath!.” Maka Rasulullah alaihissalam bersabda, “Maha Suci Allah, ini seperti yang diucapkan kaum Nabi Musa, ‘Buatkan untuk kami tuhan sebagaimana mereka mempunyai tuhan-tuhan.’ Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang ada sebelum kalian.” (HR.At-Tirmidzi, ia berkata, hasan shahih).[4]

Catatan Prinsip atas Perayaan Valentine’s Day
            Menganggapi sikap sebagian umat kita yang terpedaya dengan budaya ini, perlu kami sampaikan beberapa catatan kritis berikut : Pertama,  Valentine’s Day melecehkan kesucian ajaran Islam. Islam mengajarkan sikap kasih-sayang sesama. Bahkan Islam dinyatakan oleh Allah ta’ala sebagai rahmatan lil-’alamien, menebarkan kasih kepada semesta alam setiap saat, di manapun kita berada. Tidak memerlukan simbolisasi tertentu dan waktu tertentu pula. Derasnya gelombang serbuan budaya Barat (Westernisasi) yang cenderung bebas nilai dan sarat propaganda “cinta kasih berkedok ajaran tuhan”, secara eksplisit merendahkan ajaran Islam yang luhur, karena jelas Valentine Day tidak lain merupakan upaya untuk mengabadikan prilaku aneh seorang Pendeta Valentine. Allah berfirman :
ولا تقف ما ليس لك به علم إن السمع والبصر والفؤاد كل أولئك كان عنه مسؤولا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak punya pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati itu akan diminta pertanggungjawaban.” (Al-Isra’ : 36)
والذين كفروا أعمالهم كسراب بقيعة يحسبه الظمآن ماءً حتى إذا جاءه لم يجده شيئا ووجد اللهَ عنده فوفَّاه حسابَه والله سريع الحساب
“Dan orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitunganNya.” (An-Nur : 39)
            Kedua, meskipun terdapat beberapa versi , literatur-literatur Kristiani mencatat bahwa Valentine’s Day bersumber pada mitos jahiliyah Romawi dan Athena diteruskan oleh gereja menjadi sistem keyakinan yang dirayakan dengan cara tertentu.  Perayaan Valentine’s Day yang dilakukan oleh sebagian umat kita dari berbagai kalangan, lambat laun akan menggiring mereka kepada tertanamnya satu keyakinan sinkretisme ajaran dan penyatuan doktrin keagamaan, yang semakin mengokohkan ‘agama baru’ : Pluralisme Agama. Pluralisme Agama mengklaim semua agama, yang teistik maupun yang non-teistik dapat dianggap sebagai “ruang-ruang” soteriologis (soteriological spaces) atau “jalan-jalan” soteriologis (soteriological ways) yang padanya manusia bisa mendapatkan keselamatan/ kebebasan dan pencerahan. Semuanya valid, karena pada dasarnya semuanya sama-sama merupakan bentuk-bentuk respon otentik yang berbeda dan beragam terhadap Hakekat ketuhanan (The Real) yang sama dan transenden.
Ketiga, meneguhkan dan mempropagandakan semangat hidup yang hedonis, dan berorientasi pemuasan hawa nafsu. Umumnya perayaan semacam ini sarat dengan pola hidup yang hura-hura, bertukar pasangan dan kekasih yang dimimpikan sebagai wasilah untuk mengekspresikan rasa kasih dan sayang sesama. Di Amerika Serikat dan beberapa negara Barat, sebuah kencan pada hari Valentine sering ditafsirkan sebagai permulaan dari suatu hubungan yang serius. Ini membuat perayaan Valentine di sana lebih bersifat ‘dating’ yang sering di akhiri dengan tidur bareng (perzinaan) ketimbang pengungkapan rasa kasih sayang dari anak ke orangtua, ke guru, dan sebagainya yang tulus dan tidak disertai kontak fisik. Inilah sesungguhnya esensi dari Valentine Day.
Perayaan Valentine Day di negara-negara Barat umumnya dipersepsikan sebagai hari di mana pasangan-pasangan kencan boleh melakukan apa saja, sesuatu yang lumrah di negara-negara Barat, sepanjang malam itu. Malah di berbagai hotel diselenggarakan aneka lomba dan acara yang berakhir di masing-masing kamar yang diisi sepasang manusia berlainan jenis. Ini yang dianggap wajar, belum lagi party-party yang lebih bersifat tertutup dan menjijikan. Perhatikan ayat berikut ini :
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”(Al-Jatsiyah : 23).

Perayaan Valentine’s Day : HARAM
Tiga catatan mendasar atas fakta perayaan Valentine’s Day setidaknya memberikan pandangan yang jelas, tegas dan utuh dalam diri kita sebagai seorang muslim. Beberapa Ulama terkemuka di dunia Islam memberikan penjelasan sebagai berikut.
            Tentang perayaan ritual orang-orang kafir, Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jawziyah rahimahullah menyatakan : “Memberi selamat atas acara ritual orang kafir yang khusus bagi mereka, telah disepakati bahwa perbuatan tersebut haram. Semisal memberi selamat atas hari raya dan puasa mereka, dengan mengucapkan, “Selamat hari raya!” dan sejenisnya. Bagi yang mengucapkannya, kalau pun tidak sampai pada kekafiran, paling tidak itu merupakan perbuatan haram. Berarti ia telah memberi selamat atas perbuatan mereka yang menyekutukan Allah. Bahkan perbuatan tersebut lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada memberi selamat atas perbuatan minum khamar atau membunuh. Banyak orang yang kurang mengerti agama terjerumus dalam suatu perbuatan tanpa menyadari buruknya perbuatan tersebut. Seperti orang yang memberi selamat kepada orang lain atas perbuatan maksiat, bid’ah atau kekufuran maka ia telah menyiapkan diri untuk mendapatkan kemarahan dan kemurkaan Allah.”
            Ketua Lajnah Da’imah Li al-Ifta’ (Lembaga Fatwa Kerajaan Arab Saudi), Abdul Aziz bin Abdullah bin Muhammad Alus Syaikh hafizhahullah menjelaskan demikian; ”...bahwa telah ditunjukkan berdasarkan dalil-dalil yang jelas dari Al-Kitab dan As-sunnah, dan telah sepakat umat ini atasnya, bahwa hari raya di dalam Islam hanyalah dua: yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun selain keduanya dari berbagai perayaan apakah yang berhubungan dengan seseorang, sekelompok orang, atau satu kejadian, atau dengan makna apa saja, maka itu merupakan perayaan-perayaan yang bid’ah, tidak boleh bagi Kaum Muslimin melakukannya, menyetujuinya, dan menampakkan kegembiraan dengannya, atau membantunya dengan sesuatu. Sebab hal tersebut termasuk ke dalam sikap melanggar batasan-batasan Allah, dan barangsiapa yang melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka sungguh dia telah menzhalimi dirinya sendiri. Apabila perayaan yang diada-adakan tersebut berasal dari perayaan orang-orang kafir, maka ini berarti dosa di atas dosa, sebab menyerupai mereka, dan itu merupakan bentuk loyalitasnya kepada mereka. Dan sungguh Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah melarang Kaum Mukminin menyerupai mereka dan bersikap loyal kepada mereka dalam kitab-Nya yang agung. Dan telah shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa beliau bersabda: ” Barangsiapa yang menyerupai satu kaum,maka dia termasuk mereka “(HR.Abu Dawud dari Abdullah bin Umar).”[5]
”Hari kasih sayang termasuk diantara jenis perayaan yang disebutkan, sebab ia termasuk di antara perayaan berhala Nashrani. Maka tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hari akhir melakukannya, atau menyetujuinya, atau mengucapkan selamat, namun yang wajib adalah meninggalkannya dan menjauhinya, sebagai wujud menjawab panggilan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan menjauhkan diri dari berbagai sebab yang mendatangkan kemurkaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan siksaan-Nya. Sebagaimana pula diharamkan atas seorang muslim membantu perayaan tersebut, atau yang lainnya dari berbagai perayaan yang diharamkan, dengan jenis apapun, baik berupa makanan, minuman, menjual, membeli, membuat, hadiah, saling berkirim surat, atau pemberitahuan, atau yang lainnya. Sebab itu semua termasuk ke dalam sikap saling tolong menolong di atas dosa dan permusuhan, dan kemaksiatan kepada Allah dan rasul-Nya. Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العقاب
” Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. ” (QS.Al-Maidah : 2)
Wajib atas seorang muslim berpegang teguh dengan Kitabullah dan As-Sunnah dalam setiap keadaannya, terlebih lagi pada waktu-waktu terjadinya fitnah dan banyak terjadi kerusakan. Dan hendaklah seseorang mengerti dan berhati-hati dari terjatuh ke dalam berbagai kesesatan orang-orang yang dimurkai dan orang-orang yang sesat yang fasiq yang yang tidak percaya akan kebesaran Allah, dan mememiliki peduli terhadap Islam. Wajib atas setiap muslim untuk berlindung kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan memohon hidayah kepada-Nya, dan kokoh di atas agamanya, karena tidak ada yang dapat memberi hidayah kecuali Allah, dan tidak ada yang dapat memberi kekokohan kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala. Dan hanya kepada Allah kita meminta taufiq. Shalawat dan salam atas Nabi kita Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarganya, dan para shahabatnya.[6]
Syaikh Muhammad Bin Shaleh Al-’Utsaimin rahimahullah  menegaskan haramnya perayaan Valentine’s Day dengan beberapa alasan berikut; pertama, bahwa itu merupakan perayaan bid’ah yang tidak ada asalnya dalam syari’at Islam; kedua, menjerumuskan kepada cinta buta dan kerinduan (kepada lawan jenis bukan mahram); ketiga,  menjerumuskan kepada sibuknya hati dalam urusan-urusan hina, yang menyelisihi bimbingan salafus shalih. Dengan demikian, tidak dihalalkan pada hari ini menunjukkan sesuatu yang mengagungkan perayaan tersebut, baik dalam hal makanan, minuman, pakaian, ataupun dengan saling memberi hadiah, atau yang lainnya. Wajib bagi seorang muslim untuk merasa mulia dengan agamanya dan jangan sampai menjadi seorang yang tidak punya pegangan, mengikuti setiap orang yangmempropagandakan kebathilan. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala melindungi Kaum Muslimin dari segala fitnah yang zhahir maupun yang batin. Semoga pula Allah Subhanahu Wa Ta’ala senantiasa menolong kita dengan pertolongan dan taufiqNya.[7]










[1] Disampaikan pada pengajian umum di Masjid Agung sragen, Ahad 17 Pebruari 2008
[2] Anggota Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Periode : 2005-2010 / Mudir   Lembaga Bahasa Arab “Mahad Ali Bin Abi Thalib” Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
[3] Majalah Arana Perbandingan Agama dan Pembinaan Muallaf, Edisi : No. 03/TH.I/17 Pebruari – 17 Maret 2005, hal. 14-17
[4] سنن الترمذي    [ جزء 4 -  صفحة 475 ] 
2180 - حدثنا سعيد بن عبد الرحمن المخزومي حدثنا سفيان عن الزهري عن سنان بن أبي سنان عن أبي واقد الليثي : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم لما خرج إلى خيبر مر بشجرة للمشركين يقال لها ذات أنواط يعلقون عليها أسلحتهم فقالوا يا رسول الله أجعل لنا ذات أنوط كما لهم ذات أنواط فقال النبي صلى الله عليه وسلم سبحان الله هذا كما قال قوم موسى اجعل لنا إلها كما لهم آلهة والذي نفسي بيده لتركبن سنة من كان قبلكم"/ قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح. و أبو واقد الليثي اسمه الحرث بن عوف وفي الباب عن أبي سعيد و أبي هريرة. قال الشيخ الألباني : صحيح  (المكتبة الشاملة)

[5] سنن أبي داود    ( جزء 2 -  صفحة 441 )
 4031 حدثنا عثمان بن أبي شيبة ثنا أبو النضر ثنا عبد الرحمن بن ثابت ثنا حسان بن عطية عن أبي منيب الجرشي عن ابن عمر قال :  قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " من تشبه بقوم فهو منهم " . / قال الشيخ الألباني : حسن صحيح
[6] Fatwa nomor (21203), tanggal: 23-11-1320 H. http://dakwahsalaf.info/?p=22
[7] Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :16/199

Kedudukan Ijtihad Terhadap Al Kaun

Setiap kita berdiskusi masalah agama tidak jarang kita melemparkan kata-kata Ijtihad. Akan tetapi makna Ijtihad kadang kita kurang memahami, walhasil kita bisa salah arti. Islam menempatkan Ijtihad sebagai hukum yang ketiga setalah Al-Qur`an dan Sunnah, itupun dipakai ada sebab–sebab tertentu. Salah satu sebab memakai dalil ijtihad adalah, tidak ditemukannya hukum–hukum yang tersirat didalam Al-Qur`an maupun sunnah terhadap persoalan aktual yang berkembang.
Persoalan akan muncul, ketika setiap orang mempunyai otoritas untuk berijtihad. Kasus–kasus liberalisme, universalisme, dan trans agama dikalangan kaum muda muslim, tidak lepas dari pemahaman Ijtihad yang kurang benar. Sehingga Ayat-ayat Al-Qur`an sering disalah tafsirkan sesuai pikiran (ro'yu) dan syahwatnya semata. Kasus Amina Wadud, yang memperbolehkan wanita menjadi imam shalat jumat, serasa menjadi kontrofersi dan keambiguan dikalangan umat Islam. Persoalan lain muncul seorang mahasiswa yang sekolah diuniversitas yang berlabel Islam, mengatakan bahwa telah dihalalkannya nikah sesama jenis hal ini menambah betapa rancunya pikiran para generasi muda Islam kita. Padahal Allah SWT sudah melarang umatnya untuk tidak mencampur adukkan antara kebenaran dan kebatilan QS AL Baqarah : 22 Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu Mengetahui. Oleh sebab itu, untuk menangkal paham–paham liberalisme dan sejenisnya perlu di ketahui tentang definisi, syarat–syarat Ijtihad dan kedudukan Ijtihad terhadap ayat–ayat Allah yang terhampar (Al Kaun) sebab salah satu obyek kajian Ijtihad adalah Al Kaun. Setiap muslim mengakui bahwa, Allah SWT menurunkan ayat-ayat "Qouliyah" kepada umat manusia melalui malaikat jibril dan nabi-nabiNya dan tidak ada keragu-raguan didalamnya. Ia juga membentangkan ayat-ayat kauniyah secara nyata yaitu alam semesta. Salah satu bukti kebenaran hal tersebut adalah undangan kepada manusia untuk berfikir, karena sesungguhnya dalam penciptaanNya, yakni kejadian benda-benda angkasa seperti matahari, bulan, dan jutaan gugusan bintang-bintang yang terdapat dilangit, atau dalam pengaturan sistem kerja langit yang sangat teliti serta kejadian dan perputaran bumi pada porosnya yang melahirkan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kemaha kuasaanNya. Mengenai ayat-ayat kauniyah tersebut dengan jelas Allah me-nyebutkan di dalam Al-Qur`an, seperti yang terdapat didalam surah Ar Ra’d ayat 3 : “ Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dia menjadikan padanya buah-buahan berpasang-pasangan. Allah (Jualah) yang menutupkan malam pada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir” (Ar-Ra’d : 3) Firman Allah SWT dalam QS. Al Imran : 190 Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, Alam semesta selain sebagai ayat-ayat kauniyah yang merupakan jejak-jejak keagunganNya, ia juga merupakan himpunan-himpunan teks secara konkrit yang tidak henti-hentinya mengajarkan kepada manusia secara mondial bagaimana bersikap dan berprilaku mulia patuh kepada kefitrian kodrat, harmoni yang begitu menentramkan, kerelaan yang tulus dalam membahagiakan umat manusia. Khairan Rasyadi dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Profetik mengatakan bahwa Ijtihad yang diarahkan kepada interpretasi wahyu dan Al Kaun akan menghasilkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggembirakan. Sebab interpretasi manusia atas wahyu akan menghasilkan pemahaman agama yang aktual. Sementara interpretasi terhadap Al kaun akan menghasilkan ilmu pengetahuan. Dari segi bahasa, kata Ijtihad artinya "bersungguh-sungguh": rajin, mencurahkan tenaga dan pikiran, atau bekerja dengan sungguh-sungguh. Sementara itu dari segi istilah ijtihad berarti "mencurahkan segala pikiran dan kemampuan untuk menetapkan atau menemukan hukum syara' (Islam) yang tidak ditetapkan secara jelas dalam Al-Qur`an ataupun Hadits". Berdasarkan terminologi fiqih Islam, ijtihad mempunyai arti yang khas, Al Ghazali menjelaskan ijtihad sebagai "mencurahkan segenap kemampuan dalam melakukan sebuah perbuatan mencurahkan segenap kemampuannya dalam mencari ilmu tentang hukum-hukum syariat."Al Dahlawi menjelaskan" Hakikat ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sumber Islam yang ketiga ini, mempunyai peran sangat penting. Mengingat perkembangan zaman dan globalisasi semakin hari semakin berubah, sehingga sering muncul persoalan-persoalan baru ditengah-tengan umat Islam yang memerlukan solusi-solusi yang tepat sesuai ajaran dan perintah Allah SWT dan ajaran Rasulullah. Dari keterangan di atas, bahwa ijtihad bukan perbuatan yang dilakukan sekedar membuka-buka kitab tafsir atau hadits lalu dengan mudah ditarik sebuah kesimpulan hukum. Dalam ber-ijtihad dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dengan mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk mendapatkan hukum-hukum syariat. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ijtihad bukan perkara yang mudah, tetapi ijtihad juga harus diupayakan pada setiap generasi, agar ajaran Islam tetap dinamis, dan siap memberikan solusi atas segala problematika kontemporer. Syarat-Syarat Ijtihad Ijtihad harus dilakukan bagi orang yang mempunyai syarat – syarat sebagai mujtahid. Al Ghazali berkata" seorang mujtahid harus memiliki dua syarat: Pertama, hendaknya dia menguasai sumber-sumber syariat (kitab, sunnah, ijma' dan aqal). Kedua, hendaknya dia seorang yang adil dan menghindari kemaksiatan-kemaksiatan yang menggugurkan keadilan. Syarat kedua ini adalah syarat diterimanya fatwa mujtahid, bukan syarat menjadi seorang mujtahid. Untuk lebih detailnya syarat-syarat ijtihad adalah sebagai berikut: 1. Menguasai bahasa Arab dengan bagian-bagiannya, seperti tata bahasa arab (nahwu shorf, dan i'lal), Balaghah (ma'ani, bayan dan badi') serta tradisi dan percakapan orang-orang arab, syarat ini diperlukan karena Al Qur an dan Hadist diucapkan dan ditulis dalam bahasa arab yang sangat tinggi dan indah. 2. Mengetahui asbabun nuzul ayat-ayat Al Qur an Mengetahui ilmu mantiq (logika) sesuai yang dibutuhkan untuk memahami Al Qur an dan sunnah. 3. Mengetahui ilmu ushul fiqh (dasar-dasar hukum syariat). Ilmu ini membahas tentang apa saja yang harus diketahui atau dikuasai seorang mujtahid sebelum mengambil hukum dari Al Qur an dan sunnah, yang mencakup masalah umum, khusus, nasikh, mansukh, mutlaq. Dan juga bagaimana menangkap perintah Allah, apakah perintah itu wajib, atau tidak, dan larangan mengandung arti haram atau tidak. 4. Mengetahui ilmu rijal, yaitu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Yang menjadi fokusnya adalah mencari tahu tentang kejujuran dan ketakwaan para perawi hadist, karena hal ini berkaitan erat dengan kedudukan sebuah hadist, apakah shahih, hasan, dahaif dll. 5. Menguasai 'Ulum ul Hadist atau musthalahul hadist. Ucapan, perbuatan dan persetujuan (sunnah)Nabi Saww telah dicatat dalam beberapa kitab hadist dan jumlahnya mencapai ribuan. 6. Menguasai tafsir dan maksud-maksud Al Qur an. Penguasaan prinsip-prinsip di atas adalah mutlak sifatnya bagi mujtahid, artinya seorang muslim tidak boleh begitu saja secara serampangan mencari dalil pembenar dari Al Quran dan Sunnah, tetapi diperlukan sebuah ijtihad untuk mendudukkan masalah dan persoalan secara benar oleh ahlinya. Dengan usaha ijtihad ini, ummat tidak akan kesulitan dan kebingungan lagi dalam menghadapi persoalan-persoalan yang tidak tercantum didalam Al Quran maupun Sunnah, karena persoalan tersebut sudah dapat terpecahkan dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang dihasilkan dari hasil ijtihad itu sendiri. Dengan kerangka berijtihad diatas, solusi- solusi yang akan diambil diharapkan menjadi berkah atas persoalan yang telah muncul. Interpretasi dari aksi ijtihad ini salah satu hasil nyatannya adalah menimbulkan ilmu baru.

HIKMAH

Disebutkan oleh Al-Qadhi Abu Ali At-Tanukhi, dia mengatakan: Dahulu kala hiduplah seorang lelaki yang terkenal zuhud dan kuat ibadatnya, dialah Labib Al-Abid. Dia datang ke pintu gerbang negeri Syam dari arah barat kota Baghdad, sebuah tempat yang menjadi laluan banyak orang. Labib kemudian berkata kepadaku: Dahulu aku adalah seorang hamba Rom, milik salah seorang tentara. Dialah yang merawat dan mengajarku cara bermain pedang sehingga aku pun mahir memainkannya sehingga merasa benar-benar perkasa. Demi menjalin persaudaraan dan untuk mengawal hartanya, walaupun aku telah dimerdekakan sepeninggalnya, aku kemudian menikahi isterinya. Aku yakin, Allah SWT. telah mengetahui bahawa apa yang kuperbuat itu tiada lain sekadar untuk menjaganya. Aku tinggal bersamanya beberapa tahun. Selama hidup berumahtangga dengannya, suatu hari kulihat seekor ular menyelinap dalam bilik kami. Aku lalu memegang ekornya untuk kubunuh, tetapi ular itu justru berbalik menyerangku dan berhasil menggigit tanganku hingga menjadi lumpuh. Setelah tanganku yang satu mengalami kelumpuhan, selang beberapa waktu kemudian tanganku yang lain menyusul lumpuh pula tanpa sebab- sebab yang jelas. Seterusnya kedua kakiku juga lumpuh, mataku menjadi buta dan terakhir aku menjadi bisu. Kemalangan ini kualami selama satu tahun. Demikianlah keadaanku yang sangat buruk, kecuali hanya telingaku yang masih mampu menangkap segala pembicaraan. Aku tergeletak tiada berdaya: Aku selalu diberi minum saat aku merasa tidak dahaga, sementara itu dibiarkan kehausan saat aku kenyang, dan dibiarkan ketika aku merasa lapar. Setelah berjalan satu tahun, datanglah seorang wanita menjumpai isteriku. Dia bertanya kepada isteriku, Bagaimana keadaan Abu Ali Labib? Dia tidak hidup dan tidak juga mati, sehingga hal ini membuatku bimbang dan hatiku menjadi sangat sedih, jawab isteriku. Mendengar hal itu, dalam hatiku lalu mengadu kepada Allah dan berdoa. Dalam keadaan menderita sakit yang seperti ini sedikit pun dalam jiwaku tidak merasakan sesuatu. Pada suatu hari, aku merasa seakan-akan menerima pukulan sangat keras yang hampir membuatku binasa. Hal itu terus berlangsung hingga tengah malam atau mungkin sudah lewat tengah malam, kemudian sedikit demi sedikit rasa sakitku ini mula hilang, akhirnya aku dapat tidur. Keesokan hari ketika terjaga dari tidur, kurasakan tangan ini telah berada di atas dada, padahal selama ini tergeletak tidak berdaya di atas tempat tidur kerana mengalami kelumpuhan. Kucuba untuk bergerak dan ternyata berjaya. Melihat hal ini, aku merasa gembira dan yakin bahawa Allah akan memberikan kesembuhan. Kucuba menggerakkan tanganku yang lain dan ternyata dapat kugerakkan pula. Aku juga mencuba memegang salah satu kakiku dan berhasil memegangnya, dan kukembalikan tanganku pada keadaan semula, hal ini kulakukan pula pada tanganku yang lain. Selepas itu aku ingin mencuba membalikkan tubuhku dan ternyata dapat kubalikkan dan bahkan aku mampu duduk lagi. Kemudian, aku bermaksud untuk berdiri dan ternyata aku juga mampu melakukannya, lalu kucoba lagi turun dari pembaringan, yang selama ini tubuhku terbaring. Tempat tidurku itu berada di sebuah bilik yang ada di rumahku. Dalam kegelapan aku mencoba untuk mencari pintu bilik dengan meraba-raba dinding bilik, sebab mataku belum dapat melihat dengan terang. Akhirnya aku berhasil mencapai teras rumah dan di sana aku dapat memandang langit dan bintang-bintang yang berkedip. Kerana luapan kegembiraan yang tiada terkira hampir menghentikan detak jantungku, dan segera terlontar dari bibirku rasa syukur kepada-Nya: Wahai Zat Yang Maha Kaya Kebaikan-Nya! Hanya Milik-Mulah segala puji. Setelah itu aku pun berteriak memanggil isteriku dan dia segera datang menemuiku seraya berkata, Abu Ali? Sekarang inilah aku menjadi Abu Ali yang sebenarnya. Dan kini nyalakanlah lampu, kataku kepadanya. Isteriku segera pula menyalakan lampu, dan kemudian kuperintahkan kepadanya untuk mengambilkan sebuah gunting. Dia pun datang dengan membawa gunting yang kumaksud, dengan gunting itulah kupotong kumisku. Isteriku lalu berkata kepadaku, Apa yang hendak kamu lakukan? Bukankah teman-temanmu telah mencelamu? Selepas ini, aku tidak akan melayani seorang pun kecuali hanya Tuhanku semata-mata, jawabku. Seterusnya kugunakan seluruh waktuku untuk menghadap kepada Allah SWT. dan tekun beribadat. Al-Qadhi Abu Ali meneruskan ceritanya kembali, bahawa Abu Ali Labib Al Abib adalah seorang yang mustajab doanya.

MEMBANGUN GENERASI RABBANI

Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".(AL Baqarah : 132)

Kita sering mendengar istilah "The Lose Genegration" atau "generasi yang hilang. Istilah ini bukan sesuatu yang baru, tetapi timbul tenggelam karena kurang disadari dan dianggap tidak penting. Banyak pihak yang meremehkan persoalan ini. Padahal The lose generation adalah persoalan besar yang menghantui masa depan ummat, bangsa dan Negara. Apakah kita rela dan ikhlas bila ada keterputusan dalam pengertian generasi ? Pertanyaan ini memang patut kita kedepankan, karena kita gampang lupa terhadap personal-persoalan seperti itu.

Pengertian generasi merupakan "sunnatullah", sesuatu yang sifatnya 'afirmatif" tidak bisa ditawar-tawar dan pasti terjadi pada suatu kaum atau bangsa. Pengertian itu akan baik atau buruk sebenarnya tergantung kita sebagai bangsa dalam mempersiapkan generasi mendatang. Harus diakui upaya untuk itu telah dilakukan dengan baik, tetapi disisi lain tantangan dan hambatan juga cukup keras dan intens. Gejala dekadensi moral dan indikasi sosial semakin nyata karena memang situasi global yang sangat terbuka dan daya tahan bangsa yang semakin rapuh. Hedonisme, kejahatan dan kekerasan menjadi konsumen harian anak-anak kita karena disajikan secara masif dalam media kita. Perzinahan, aborsi, kecanduan narkoba dijasikan sebagai bahan informasi murah dan gampang diperoleh melalui media canggih internet. Pendek kata arus informasi yang masuk hampir tanpa batas, mengalir begitu saja diadopsi tanpa filter (saringan) dan lucunya dijadikan sebagai kebiasaan dan kebanggaan.

Fenomena seperti ini hendaknya dijadikan bahan renungan bersama, kalau kita tidak ingin tertimpa melapetaka "The Lose Generation". Padahal Allah dengan jelas memperingatkan kita melalui firmannya :

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim : 6).

Gambaran gejala kemerosotan moral sebagaimana tersebut diatas, perlu mendapat perhatian khusus oleh segenap pemimpin, ulama, orang tua, guru, lembaga kepemudaan bahkan generasi muda sendiri. Kalau tidak, bayang-bayang menakutkan "the lose generation' akan menjadi kenyataan dan sekaligus menimbulkan preseden buruk bagi generasi yang akan datang. Bagaimanapun "generasi yang hilang" akan membawa kehancuran dan kesesatan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Maryam ayat 59 :

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam : 59)

Allah SWT melalui ayat ini, menjelaskan bahwa ada dua karakter utama dari generasi yang buruk yaitu "adla 'ush-shalah" (menyia-nyiakan shalat) dan "wattaba 'usy-syahwat" (mengumbar hawa nafsu).

Karakter pertama, menyia-nyiakan shalat, mereka bahwa shalat merupakan "Ashalatu imaduddin" (shalat tiang agama) dan merupakan amalan yang nomor wahid dihizab pada hari Kiamat dalam fungsinya "hablum minallah". Dalam suatu hadits Rasulullah SAW bersabda :

"sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat", jika ia (shalatnya baik), maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika jelek shalatnya mka jelek pulalah seluruh amalnya", (HR. At-Tirmidzi).

Maka menjadi jelas bahwa bila suatu kaum menyia-nyiakan shalat tidak memiliki benteng yang kuat dari perbuatan keji dan munkar. Hal ini akibat adanya ikatan batin yang kuat antara seseorang hamba dengan RabbNya, sebagaimana firman Allah :

Dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain).

Karakter kedua, mengumbar hawa nafsu. Karakter ini merupakan kebiasaan buruk bagi siapa saja yang tidak memiliki filter "hafa nafsu". Didunia ini hanyalah saya yang paling benar dan berkuasa, peduli amat dengan orang lain. Kekuasaaan telah menyelimuti hati mereka. Dan repotnya generasi muda yang berkarakter seperti ini tidak mau instrospeksi diri, apalagi diingatkan orang lain. Inilah yang sering disebut bahwa nafsu merupakan faktor yang menghalangi hati untuk sampai pada Allah SWT. Mereka akan bertindak sekehendak hati tanpa menghitung resiko yang bakal terjadi. Mereka benar-benar telah takluk di bawah perintah hawa nafsunya berarti telah gagal dan hancur. Allah SWT berfirman dalam surat An Nazi'at ayat 37 dan 41 yang artinya :

Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).

GENERASI ROBBANI

Jawaban diatas hanya satu yaitu membangun generasi Rabbani. Generasi Rabbani adalah generasi yang baik, penuh dengan keridhaan dan kasih sayang Allah SWT serta hidupnya selalu dihiasai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam surat Al-Furqan, Allah menyebutnya sebagai "Ibadddurrahman" yakin hamba yang disayangi dan dikasihi Allah SWT. Generasi Rabbani merupakan tumpuaan dan harapan yang akan membawa kemajuan Islam dan tegaknya kalimatullah dimuka bumi tercinta ini.

Bila menilik Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 54 dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter dari generasi Rabbani meliputi :

1. Yuhibbuhum wa yuhibbuunahu yaitu merka yang mencintai Allah, melaksanakan perintah Allah, menjauhi laranganNya, tidak mau terhambatdalam kebobrokan dan kenakalan, mempunyai hati yang bersih dan Allahpun mencintai mereka.

2. Adzillatin 'alal mu'minin a'iazzatin 'alal kafirin yaitu rendah hati terhadap orang mukmin dan keras terhadap orang kafir.

3. Jihad fisabilillah yaitu berjuang dijalan Allah membela kebenaran dan melawan kedzaliman. Jihad tidak selalu diartikan perang dimedan laga, tetapi lebih dimaknai perang melawan hawa nafsu dan memperjuangkan ummat dalam hal kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan.

4. La yakhofuna laumata laa aimin. Yaitu tidak khawatir atau takut pada celaan orang-orang yang suka mencela. Kita mesti sadar bahwa itu merupakan suatu resiko dalam berjuang.

Sosok generasi rabbani sebagaimana digambarkan diatas merupakan sosok muslim yang ideal. Bangsa ini membutuhkan generasi rabbani sebagai cikal bakal dan modal utama membangun bangsa yang "baldatun tayibatun wa rabbun ghofur" dan tegaknya Dinul Islam di bumi Pertiwi Indonesia.

MEMBANGUN GENERASI RABBANI

Persiapan pembentukan generasi yang akan datang mutlak dan afirmatif sifatnya, suatu keharusan yang tidak bisa bantah lagi. Perlu dipersiapkan proses pembangunan generasi penerus sebaik-baiknya yang berlandaskan pada ajaran agama yang sebenar-benarnya. Sehingga diperoleh generasi penerus yang berakhlak mulia, berakidah sesuai tuntunan Al-Qur'an dan as-Sunnah dan bermuamalah yang sebebar-benarnya.

Banyak teladan yang bisa kita jadikan tuntunan dalam membangun genrasi Rabbani yaitu mengikuti jejak Rasululah Muhammad SAW dalam mempersiapkan generasi yang akan datang. Sebagai contoh, dalam Al-Qur'an diungkapkan bahwa para Nabi pun mempersiapkan peralihan generasi ini sebaik-baiknya. Kita bisa lihat pada Q.S Al Baqarah ayat 132 dan 133 Allah berfirman :

Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia Berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya".

Ayat tersebut diatas menggambarkan bahwa akhlak dan akidah generasi penerus Nabi itu sama. Ada persamaan ideologi dan idealisme antara generasi pendahulu dengan generasi berikutnya. Kata "wawashsha' berartu berwasiat, mendidik ataupun mengajarkan. Ini menginformasikan bahwa upaya mempersiapkan negerasi pengganti supaya lebih baik dari pada generasi pendahulunya dilakukan melalui proses pendidikan dan pembinaan. Dan, nilai-nilai atau ideologi yang diwariskan atau diwasiatkan generasi pendahulu tidak lain nilai-nilai dan ideology Islam. Sedangkan kata "biha' dalam ayat ini menunjukkan pengertian pada kalimat sebelumnya yaitu ke Islaman.

Kemudian digunakan pula kata "Isthafa" yang mengandung arti ada kesadaran untuk memberikan alternatif terbaik. Isthafa ini bukan sekedar memberikan pilihan, atau disuruh memilih, tetapi mengajarkan memilih dan memberikan alternatif terbaik " Innnalaha isthafa lakum ad-din (sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini (Islam) buat kalian). Yang dimaksud "Ad-din" dalam ucapan Ibrahim ini adalah jelas Dienul Islam. Sehingga pada akhir ayat itu dinyatakan "wala tamutunna illa waantum muslimun" yang artinya maka jangnlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam. Jika matipun dilarang kecuali memeluk agama Islam, maka apalagi dalam waktu hidup. Inilah yang berkaitan dengan "Islamiyyatul hayah" atau Islamisasi kehidupan, baik ekonomi, politik dan ideology maupun pendidikan dan lain-lain.

Demikian pula nabi Yakub as, memberikan perhatian yang besar terhadap generasi penggantiNya (anak-anaknya) dalam hal akidah dan ideology mereka :" Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya. Apa yang kamu sembah sepeninggalku ? Pertanyaan itu dijawab oleh anak-anaknya : sesuai dengan akhlak dan akidah generasi pendahulunya.

"Mereka menjawab, kami akan menyembah Tuhan dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tuduk patuh kepadanYa.

Inilah contoh proses regenerasi yang dipersiapkan, yang tidak semata – mata berkaitan dengan masalah materi tetapi juga berkaitan dengan “Manhajul hayah-nya”, prinsip hidupnya.

Dari teadan diatas jelas terlihat bahwa dalam mempersiapkan generasi diawali dari keluarga. Lingkungan keluarga sebagai tempat pertama bagi pertumbuhan anak menjadi faktor terpenting yang mempengaruhi watak, kebiasaan dan perkembangan pshikologinya. Keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah merupakan lingkungan yang baik dalam mambantuk generasi Rabbani.

MENGENAL DIRI

Dia telah menciptakan manusia dari mani (setetes air), tiba-tiba ia menjadi pembatah yang nyata.” (S. Annahl, 4)
Makhluk Yang Sangat Unik Manusia merupakan makhluk Allah yang sangat unik. Diciptakan dari tanah. Sedang proses penciptaan berasal dari setetes air yang hina. Meski demikian, ia tumbuh dan berkembang menjadi makhluk yang paling indah dan bagus, yang dilengkapi dengan berbagai keperluan untuk bisa menangkap berbagai hal yang ada disekitarnya. Untuk keperluan hidup bagi manusia, Allah SWT menyediakan, langit, bumi, lautan beserta isinya secara cuma-cuma. Hanya satu yang diminta, yaitu jangan mengabdi selain kepada Allah. Jika itu dipenuhi, ia akan selamat sejahtera dan akan dilimpahi berbagai kenikmatan yang tiada tara. Tetapi kalau tidak, maka hidupnya sia-sia, menderita dan tersiksa. Terkena Bujukan Syaitan Meskipun tugas pokok manusia adalah mengabdi kepada Allah, tapi banyak yang menolaknya. Mereka tidak mau mengabdi kepada Allah, tetapi justru tertarik oleh bujuk rayu syaitan. Padahal sejak awal, syaitan akan selalu membawa manusia ke jalan yang gelap gulita (Al-Baqarah 257). Dari itulah maka Allah memperingatkan pada hamba-Nya agar jangan sampai terpedaya oleh bujukan syaitan. “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana telah mengeluarkan ibu bapakmu dari syurga.” Bujuk rayu syaitan itu memang sangat kuat. Terkadang dalam bentuk yang sangat halus, indah dan menawan. Hal ini lantaran syaitan bersungguh-sungguh dalam memperdaya manusia (An Nisa 119). Ia datang dari segala macam arah (Al-A’raf, 17), dan mampu merubah kemakmuran sehingga seolah-olah menjadi kebagusan (Al-Hijr, 39 - 40). Apalagi sosok dirinya tidak bisa dilihat oleh manusia sekalipun ia mampu melihat kita dengan gemblang (Al-A’raf, 27). Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia Telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya kami Telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman. Akibatnya, tidak sedikit yang semula beriman menjadi kafir, yang semula rajin ibabah menjadi malas, yang semula teguh dalam memegang agamanya menjadi goyah, yang semula ikhlas dalam beramal menjadi riya, yang semula rendah-hati dalam tindakan dan tutur kata menjadi sombong dan takabur, dan seterusnya. Ulah mereka yang seperti itu, pada mulanya mungkin tidak menimbulkan pengaruh langsung yang buruk, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain. Mereka merasa tetap baik, aman dan sejahtera: hartanya makin bertambah, karier, pangkat dan kedudukannya makin menanjak, relasi dan kawan-kawannya makin banyak, dan lain-lain. Jika mereka merasa aman menikmati berbagai hasil dari kemaksiatan dan dosanya itu, maka syaitan makin kuat lagi dalam menggodanya. Mereka menjadi sombong dan bertambah sombong, melecehkan dan melawan aturan-aturan Allah, baik dalam konsepsional gagasan maupun dalam praktek operasional. Mereka lupa, bahwa Allah tidak akan membiarkan mereka terus berbuat menuruti hawa nafsunya. Suatu saat, pasti akibat langsung dari perbuatannya itu akan mereka rasakan, dengan rasa yang sangat pedih (An-Nahl, 45 - 47). Lupa Diri Mereka lupa, bahwa dirinya diciptakan dari tanah liat yang kering, hitam dan bau (Al-Hijr, 26) serta diproses dari setetes air mani yang tersimpan kokoh dalam rahim (Al-Mu’minun, 12 – 14, Al-Hajj, 5). Mereka juga lupa, bahwa tatkala baru dilahirkan ke bumi, mereka tidak tahu apa-apa dan sangat lemah kondisinya. Allah kemudian memberinya mata, telinga dan hati (An-Nahl, 78). Allah juga memberi tahukan kepada mereka tentang berbagai hal. Allah pula yang memberinya kekuatan, sehingga mampu hidup. Kemudian memberi petunjuk, sebagai pedoman dalam hidupnya. Mereka bukan hanya diberi penglihatan, pendengaran dan hati, tetapi juga disempurnakan bentuk tubuhnya (S. Al-Infithar, 7 - 9), sehingga menjadi sebaik- baik bentuk. Badannya berdiri tegap, kepala diatas, disusul badan dan kaki, lantas kanan-kirinya dilengkapi dengan kedua tangan. Sedang didalam tubuhnya, mulai dari ujung rambut di kepala sampai tangan dan kaki terdapat jutaan alat-alat, yang masing-masing alat itu ditempatkan dalam posisi yang tepat sesuai dengan tugas dan kegunaannya. Tidak ada yang janggal. Organ dan sel sekecil apapun dalam tubuh manusia telah ditempatkan oleh Allah dalam penempatan yang sangat tepat dan jitu, dan mempunyai peranan yang sangat penting, sebagai kesatuan utuh dan kompak. Sehingga kalau salah satu organ itu tidak berfungsi misalnya, maka akan mengganggu organ-organ lainnya, dan itu berarti akan berpengaruh dalam dirinya, baik fisik maupun psikisnya. Para ahli di dunia, yang mempergunakan penglihatan, pendengaran dan hatinya, terkagum-kagum menyaksikan bentuk dan bagian-bagian dalam tubuh manusia. Makin dikaji lebih mendalam, sesuai dengan sudut pandang profesinya, akan semakin banyak lagi ditemukan berbagai keajaiban yang sangat luar biasa dan tiada tara. 191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS. Ali Imron, 191). Setelah Allah menciptakan mereka dalam bentuk yang sebaik-baiknya, Allah kemudian memberinya kepada mereka: Apa-apa yang ada di langit, di bumi dan di laut, Ilmu pengetahuan, Rezeki dari yang baik-baik, Berbagai kelebihan yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya, Rakhmat dan hidayah, Serta disempurnakan segala nikmatnya. Tidak Mau Bersyukur Nikmat Meski demikian, mereka masih tidak mau bersyukur kepadaNya. Mereka lupa pada dirinya sendiri; dari mana ia diciptakan, siapa penciptanya, untuk apa dilahirkan di bumi ini, dan mau kemana hidup di dunia ini? Karena lalai terhadap jati dirinya, mereka menjadi mudah terbawa hanyut, mengikuti arus angin yang datang. Ia terombang-ambing ke sana ke mari, seperti sabut yang terapung-apung di lautan. Tersesat. Kesesatan mereka karena menuruti hawa nafsunya, diumpamakan oleh Allah bagaikan ternak. Bahkan bisa jadi lebih sesat dari binatang ternak. “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (S.Al-A’raf, 179). Mendustakan Ayat-ayat Allah Mereka juga tidak mau membaca ayat-ayat Allah, bahkan mendustakanNya, baik yang tertulis dalam Kitab-kitabNya maupun yang tergelar dalam jagat raya (ayat-ayat Qauniyah). Sebagai suatu petunjuk dari Allah, Pencipta dan Penguasa Alam semesta, sudah pasti kitab itu mudah untuk dibaca, dipelajari dan diamalkan. Tetapi mereka tidak mau membacanya, malah mereka berani mendustakanNya. Mereka tidak mau memperhatikan berbagai fenomena alam yangada di sekelilingnya. Misalkan tentang makin banyaknya bencana berupa gunung meletus, banjir, gempa, tanah longsor, kekeringan, kebarakan, dll. Mereka juga tidak mau memperhatikan fenomena masyarakat yang banyak terjadi dimana-mana, seperti peperangan, penyakit yang mengganas, kesengsaraan yang berkepanjangan, ketidak-tenteraman, keresahan, dsb. Sebaliknya, mereka justru semakin asyik menuruti hawa nafsunya dalam mengejar kenikmatan hidup duniawiyah. Padahal sesuai dengan sifatnya dunia itu menjanjikan kemewahan dan dan kenikmatan yang cuma sementara saja, tidak abadi. Dari itu mereka yang mengejar kehidupan duniawiyah tidak pernah merasa puas. Persis seperti anjing yang selalu mengulur-ulurkan lidahnya. Sewaktu lapar, sang anjing akan selalu mengulur lidahnya, begitu pula sewaktu kenyang, pada waktu dielus-elus majikannya, ia mengulur-ulurkan lidahnya. “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajatnya)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya dia diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkan dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang me

KONSEP KEADILAN

Berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takewa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.QS Al Maidah ayat ke 8:

Islam dengan kitab suncinya, sangat menentang struktur sosial yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi kota Makkah waktu itu. Dari Makkah, Islam menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama Yahudi. Bahkan saat perang salib, Nuruddin dan salahuddin yang mengorganisir kaum muslimin, memberikan kekayaan mereka kepada kaum miskin dan hidup sederhana dengan kawan-kawan mereka. Hal ini membuktikan bahwa Islam sangat bisa diterima dalam penyebarannya.

Keadilan merupakan suatu pilar utama, untuk menuju pada suatu masyarakat sipil yang bebas dan merdeka. Prinsip keadilan sosial didasarkan atas tiga kreteria, yaitu kebebasan dalam kesadaran, prinsip pernyataan menyeluruh bagi semua, dan tanggung jawab sosial dan individu. Dengan ketiga komponen yang membentuk konsep keadilan tersebut, maka keadilan sosial akan terwujud. Al Quran menuntut, agar setiap muslim harus berusaha keras untuk menciptakan masyarakat yang adil dan kaum lemah diperlakukan dengan baik QS Al Maidah ayat ke 8:

Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang tegak karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum mendarong kamu untuk berlaku tidak adil, dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al Maidah ayat ke 8:)

Dalam Ayat Al Quran Surat Al Maidah ini, Allah menyuruh berbat adil dan kebaikan, orang-orang yang beriman dilarang berbuat tidak adil meskipun kepada musuhnya, dan tetap memegang kepada keadilan, serta lebih dari itu Al Quran menempatkan kedilan sebagai bagian integral dari Taqwa. Dalam masalah keadilan, kata kunci yang digunakan dalam Al Quran adalah “adl dan qist”. Adl dalam bahasa arab bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan sawiyyat. Kata itu juga mengandung makna penyamarataan dan kesamaan.

Penyamarataan dan kesamaan, sangat berlawanan dengan kejahatan dan penindasaan. Sedangkan Qist, mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, dan juga keadilan, kejujuran, dan kewajaran. Taqassata, salah satu kata turunannya, juga bermakna distribusi yang merata bagi masyarakat. Dan qistas, kata turunan yang lainnya, bararti keseimbangan berat. Sedangkan kedua kata didalam Al quran yang digunakan dalam menyatakan keadilan, yakni ‘adl dan qist, mengandung makna distribusi yang merata. Suatu konsep apabila tidak diturunkan dalam dataran praktek sosial akan percuma, maka konsep keadilan perlu bukti konkrit dalam masyarakat. Hal ini bisa dengan ujud, penyamarataan bahwa manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Konsep keadilan memiliki tiga kreteria.

Pertama, kebebasan dalam kesadaran.

Kebebasan difahami, sebagai satu istilah yang menekankan kebolehan seseorang individu untuk bertindak mengikuti kehendaknya sendiri. Berbicara tentang kebebasan, tidak luput dengan keterpaksaan. Islam memandang kebebasan dan keterpaksaan manusia dalam setiap prilaku, untuk menemukan kehidupan yang paling baik walaupun kebebasan tidak memiliki sifat keterikatan. Tetapi Islam sudah menggariskan, melalui aturan-aturan yang tersirat dan tersersurat di dalam Al Quran maupun Al Hadist. Dengan harapat terwujudnya insan kamil, insat Syumul, manusia integralis, dan dalam terminologi pembangunan nasional dikenal dengan istilah manusia indonesia seutuhnya.

Manusia menurut hukum alam ciptaan Tuhan, mempunyai kebebasan dalam kemauan dan memiliki daya dalam dirinya untuk mewujudkan perbuatan yang dikehendakinya. Khoron Rosyadi salah satu tokoh pendidikan Islam, mengutip dari Muhammad Abduh, bahwa manusia secara alami mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Dalam tindakannya, manusia akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan sebelum mengaktualisasikan idenya. Salah satu pertimbangan yang diambil manusia, adalah dari kitab suci atau lesan utusan Tuhannya.

Seorang muslim akan sadar terhadap pedoman hidupnya, Al Quran dan Al Hadis/Sunnah akan dijadikan pedoman dan bahan pertimbangan dalam kesadaran berkehendak. Dengan harapan, seorang muslim akan menjadi insan yang bertaqwa kepada Allah dengan potensi kesadaran yang diarahkan dan dipandu oleh kitab sucinya.

Dua, Prinsip persamaan menyeluruh bagi semua manusia

Prinsip persamaan, secara substantif merupakan salah satu elemen bagi terbentuknya masyarakat yang rasional. Musa Asyari dalam bukunya Filsafat Islam sunnah nabi dalam berfikir, mengatakan bahwa prinsip persamaan memiliki arti, semua kelompok sosial pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama, tanpa harus menghilangkan adanya stratifikasi sosial yang telah menjadi realitas sosial, dan masing-masing kelompok memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dari pernyataan Musa Asyari ini memiliku arti bahwa, persamaan kedudukan antara individu sudah menjadi ketetapan dari Tuhan. Bahkan Allah mengisyaratkan dalam Al Quran bahwa kedudukan manusia sama, hanya saja yang membedakan adalah ketaqwaan kepada Alloh.

Islam sebagai kekuatan revolusioner, salah satu misinya adalah melawan segala bentuk tirani penindasan dan ketidak adilan menuju persamaan tanpa kelas. Islam juga berperan dalam upaya, mewujudkan nilai-nilai perjuangan pemusnahan penindasan bagi orang-orang miskin serta persamaan hak dan kewajiban diantara sesama seluruh masyarakat .Persamaan tanpa kelas ini menjadi tuntutan, karena setiap individu memiliki hak yang sama dalam kehidupan sosialnya.

Konsep kesamaan derajat, dapat dilihat dari proses ibadah sholat berjamaah maupun ibadah haji. Individu yang menjalankan sholat dari beragam latar belakang, pejabat, pedagang, bahkan penjual asongan, semuanya dinilai sama derajat dalam prosesi tersebut. Dari kutipan diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa, Islam mengajarkan tentang persamaan derajat, karena hanya ketaqwaan kepada Allah saja lah yang menjadi perbedaan. Selaian itu kesamaan derajat bukan berarti menghilangkan kelas sosial, tetapi kesadaran kritis bahwa setiap muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama. Mengingat hal ini sebagai fitrah kehidupan, untuk terciptanya tatanan masyarakat yang ideal.

Tiga, Tanggung jawab sosial dan individu.

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imran ayat ke 110)

Islam mengakui adanya tanggung jawab sosial ataupun individu, dalam kutipan Al Quran Surat Ali Imran ayat ke 110 diatas, penulis memahami bahwa ummat Islam adalah ummat yang terbaik dan memiliki kewajiban untuk beramarma’ruf nahi munkar selain itu juga umat Islam memiliki kewajiban untuk beribadah kepada Allah.

Realisasi dari tanggung jawab sosial dan individu dapat dilihat dari mekanisme zakat, dalam harta pribadi ada sebagain hak bagi golongan masyarakat lain sebagai manifestasi tanggungjawab sosial, yaitu golongan lemah yang membutuhkan. Prinsip tersebut dikenal dalam Islam melalui mekanisme zakat. Zakat memiliki dua fungi, fungsi sebagai hamba Allah dalam menjalankan ibadah kepada Allah, yang larinya sebagai tanggungjawab pribadi sebagai hamba yang taat. Fungsi kedua, harta tidak semata-mata digunakan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan harus berfungsi sosial, yang mengarah kepada kemaslahatan kepada orang lain.

Dari uraian diatas, penulis menggaris bawahi bahwa konsep keadilan harus memiliki 3 (tiga) syarat. Pertama, Syarat kebebasan dalam kesadaran yang berpusat pada Al Quran dan Hadis. Kedua, Prinsip persamaan menyeluruh bag semua manusia. Hal ini mengingat bahwa, Islam mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, saling tolong menolong, dan saling membantu tanpa melihat stratifikasi sosial. Ketiga, Tanggung jawab sosial dan Individu yang memiliki arti bahwa seorang muslim memiliki tanggungjawab untuk beribadah kepada Allah (Khablum minallah) dan tanggung jawab sosial yang di ujudkan secara nyata (khablum minnannas) yang didasari dengan sifat tawazun (keseimbangan antara keduanya) mengingat Hadis Nabi

وَاللهُ لاَ يُؤْمِنُ, وَاللهُ لاَيُؤْمِنُ, وَاللهُ لاَ يُؤْمِنُ : قِيْلَ : مَنْ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : اَلَّذِىْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ. (متفق عليه)

Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ditanya: Siapa ya Rasulallah ? Jawab Nabi: ialah orang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya (Mutafaqun ‘ alaih).