VALENTINE’S DAY : HARAM
Kedudukan Ijtihad Terhadap Al Kaun
HIKMAH
MEMBANGUN GENERASI RABBANI
Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".(AL Baqarah : 132)
Kita sering mendengar istilah "The Lose Genegration" atau "generasi yang hilang. Istilah ini bukan sesuatu yang baru, tetapi timbul tenggelam karena kurang disadari dan dianggap tidak penting. Banyak pihak yang meremehkan persoalan ini. Padahal The lose generation adalah persoalan besar yang menghantui masa depan ummat, bangsa dan Negara. Apakah kita rela dan ikhlas bila ada keterputusan dalam pengertian generasi ? Pertanyaan ini memang patut kita kedepankan, karena kita gampang lupa terhadap personal-persoalan seperti itu.
Pengertian generasi merupakan "sunnatullah", sesuatu yang sifatnya 'afirmatif" tidak bisa ditawar-tawar dan pasti terjadi pada suatu kaum atau bangsa. Pengertian itu akan baik atau buruk sebenarnya tergantung kita sebagai bangsa dalam mempersiapkan generasi mendatang. Harus diakui upaya untuk itu telah dilakukan dengan baik, tetapi disisi lain tantangan dan hambatan juga cukup keras dan intens. Gejala dekadensi moral dan indikasi sosial semakin nyata karena memang situasi global yang sangat terbuka dan daya tahan bangsa yang semakin rapuh. Hedonisme, kejahatan dan kekerasan menjadi konsumen harian anak-anak kita karena disajikan secara masif dalam media kita. Perzinahan, aborsi, kecanduan narkoba dijasikan sebagai bahan informasi murah dan gampang diperoleh melalui media canggih internet. Pendek kata arus informasi yang masuk hampir tanpa batas, mengalir begitu saja diadopsi tanpa filter (saringan) dan lucunya dijadikan sebagai kebiasaan dan kebanggaan.
Fenomena seperti ini hendaknya dijadikan bahan renungan bersama, kalau kita tidak ingin tertimpa melapetaka "The Lose Generation". Padahal Allah dengan jelas memperingatkan kita melalui firmannya :
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka (QS. At-Tahrim : 6).
Gambaran gejala kemerosotan moral sebagaimana tersebut diatas, perlu mendapat perhatian khusus oleh segenap pemimpin, ulama, orang tua, guru, lembaga kepemudaan bahkan generasi muda sendiri. Kalau tidak, bayang-bayang menakutkan "the lose generation' akan menjadi kenyataan dan sekaligus menimbulkan preseden buruk bagi generasi yang akan datang. Bagaimanapun "generasi yang hilang" akan membawa kehancuran dan kesesatan, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Maryam ayat 59 :
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS. Maryam : 59)
Allah SWT melalui ayat ini, menjelaskan bahwa ada dua karakter utama dari generasi yang buruk yaitu "adla 'ush-shalah" (menyia-nyiakan shalat) dan "wattaba 'usy-syahwat" (mengumbar hawa nafsu).
Karakter pertama, menyia-nyiakan shalat, mereka bahwa shalat merupakan "Ashalatu imaduddin" (shalat tiang agama) dan merupakan amalan yang nomor wahid dihizab pada hari Kiamat dalam fungsinya "hablum minallah". Dalam suatu hadits Rasulullah SAW bersabda :
"sesungguhnya amalan yang pertama kali dihisab pada hari kiamat adalah shalat", jika ia (shalatnya baik), maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika jelek shalatnya mka jelek pulalah seluruh amalnya", (HR. At-Tirmidzi).
Maka menjadi jelas bahwa bila suatu kaum menyia-nyiakan shalat tidak memiliki benteng yang kuat dari perbuatan keji dan munkar. Hal ini akibat adanya ikatan batin yang kuat antara seseorang hamba dengan RabbNya, sebagaimana firman Allah :
Dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain).
Karakter kedua, mengumbar hawa nafsu. Karakter ini merupakan kebiasaan buruk bagi siapa saja yang tidak memiliki filter "hafa nafsu". Didunia ini hanyalah saya yang paling benar dan berkuasa, peduli amat dengan orang lain. Kekuasaaan telah menyelimuti hati mereka. Dan repotnya generasi muda yang berkarakter seperti ini tidak mau instrospeksi diri, apalagi diingatkan orang lain. Inilah yang sering disebut bahwa nafsu merupakan faktor yang menghalangi hati untuk sampai pada Allah SWT. Mereka akan bertindak sekehendak hati tanpa menghitung resiko yang bakal terjadi. Mereka benar-benar telah takluk di bawah perintah hawa nafsunya berarti telah gagal dan hancur. Allah SWT berfirman dalam
Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya). Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).
GENERASI ROBBANI
Jawaban diatas hanya satu yaitu membangun generasi Rabbani. Generasi Rabbani adalah generasi yang baik, penuh dengan keridhaan dan kasih sayang Allah SWT serta hidupnya selalu dihiasai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalam
Bila menilik Al-Qur'an Surat Al-Maidah ayat 54 dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter dari generasi Rabbani meliputi :
1. Yuhibbuhum wa yuhibbuunahu yaitu merka yang mencintai Allah, melaksanakan perintah Allah, menjauhi laranganNya, tidak mau terhambatdalam kebobrokan dan kenakalan, mempunyai hati yang bersih dan Allahpun mencintai mereka.
2. Adzillatin 'alal mu'minin a'iazzatin 'alal kafirin yaitu rendah hati terhadap orang mukmin dan keras terhadap orang kafir.
3. Jihad fisabilillah yaitu berjuang dijalan Allah membela kebenaran dan melawan kedzaliman. Jihad tidak selalu diartikan perang dimedan laga, tetapi lebih dimaknai perang melawan hawa nafsu dan memperjuangkan ummat dalam hal kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan.
4. La yakhofuna laumata laa aimin. Yaitu tidak khawatir atau takut pada celaan orang-orang yang suka mencela. Kita mesti sadar bahwa itu merupakan suatu resiko dalam berjuang.
Sosok generasi rabbani sebagaimana digambarkan diatas merupakan sosok muslim yang ideal. Bangsa ini membutuhkan generasi rabbani sebagai cikal bakal dan modal utama membangun bangsa yang "baldatun tayibatun wa rabbun ghofur" dan tegaknya Dinul Islam di bumi Pertiwi
MEMBANGUN GENERASI RABBANI
Persiapan pembentukan generasi yang akan datang mutlak dan afirmatif sifatnya, suatu keharusan yang tidak bisa bantah lagi. Perlu dipersiapkan proses pembangunan generasi penerus sebaik-baiknya yang berlandaskan pada ajaran agama yang sebenar-benarnya. Sehingga diperoleh generasi penerus yang berakhlak mulia, berakidah sesuai tuntunan Al-Qur'an dan as-Sunnah dan bermuamalah yang sebebar-benarnya.
Banyak teladan yang bisa kita jadikan tuntunan dalam membangun genrasi Rabbani yaitu mengikuti jejak Rasululah Muhammad SAW dalam mempersiapkan generasi yang akan datang. Sebagai contoh, dalam Al-Qur'an diungkapkan bahwa para Nabi pun mempersiapkan peralihan generasi ini sebaik-baiknya. Kita bisa lihat pada Q.S Al Baqarah ayat 132 dan 133 Allah berfirman :
Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia Berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya".
Ayat tersebut diatas menggambarkan bahwa akhlak dan akidah generasi penerus Nabi itu sama.
Kemudian digunakan pula kata "Isthafa" yang mengandung arti ada kesadaran untuk memberikan alternatif terbaik. Isthafa ini bukan sekedar memberikan pilihan, atau disuruh memilih, tetapi mengajarkan memilih dan memberikan alternatif terbaik " Innnalaha isthafa lakum ad-din (sesungguhnya Allah telah memilihkan agama ini (Islam) buat kalian). Yang dimaksud "Ad-din" dalam ucapan Ibrahim ini adalah jelas Dienul Islam. Sehingga pada akhir ayat itu dinyatakan "wala tamutunna illa waantum muslimun" yang artinya maka jangnlah kalian mati kecuali dalam memeluk agama Islam. Jika matipun dilarang kecuali memeluk agama Islam, maka apalagi dalam waktu hidup. Inilah yang berkaitan dengan "Islamiyyatul hayah" atau Islamisasi kehidupan, baik ekonomi, politik dan ideology maupun pendidikan dan lain-lain.
Demikian pula nabi Yakub as, memberikan perhatian yang besar terhadap generasi penggantiNya (anak-anaknya) dalam hal akidah dan ideology mereka :" Adakah kamu hadir ketika Yakub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya. Apa yang kamu sembah sepeninggalku ? Pertanyaan itu dijawab oleh anak-anaknya : sesuai dengan akhlak dan akidah generasi pendahulunya.
"Mereka menjawab, kami akan menyembah Tuhan dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tuduk patuh kepadanYa.
Inilah contoh proses regenerasi yang dipersiapkan, yang tidak semata – mata berkaitan dengan masalah materi tetapi juga berkaitan dengan “Manhajul hayah-nya”, prinsip hidupnya.
Dari teadan diatas jelas terlihat bahwa dalam mempersiapkan generasi diawali dari keluarga. Lingkungan keluarga sebagai tempat pertama bagi pertumbuhan anak menjadi faktor terpenting yang mempengaruhi watak, kebiasaan dan perkembangan pshikologinya. Keluarga yang sakinah mawadah wa rahmah merupakan lingkungan yang baik dalam mambantuk generasi Rabbani.
MENGENAL DIRI
KONSEP KEADILAN
Berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takewa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.QS Al Maidah ayat ke 8:
Islam dengan kitab suncinya, sangat menentang struktur sosial yang tidak adil dan menindas, yang secara umum melingkupi kota Makkah waktu itu. Dari Makkah, Islam menyebar ke daerah-daerah lain yang dahulunya merupakan daerah penyebaran agama-agama Yahudi. Bahkan saat perang salib, Nuruddin dan salahuddin yang mengorganisir kaum muslimin, memberikan kekayaan mereka kepada kaum miskin dan hidup sederhana dengan kawan-kawan mereka. Hal ini membuktikan bahwa Islam sangat bisa diterima dalam penyebarannya.
Keadilan merupakan suatu pilar utama, untuk menuju pada suatu masyarakat sipil yang bebas dan merdeka. Prinsip keadilan sosial didasarkan atas tiga kreteria, yaitu kebebasan dalam kesadaran, prinsip pernyataan menyeluruh bagi semua, dan tanggung jawab sosial dan individu. Dengan ketiga komponen yang membentuk konsep keadilan tersebut, maka keadilan sosial akan terwujud. Al Quran menuntut, agar setiap muslim harus berusaha keras untuk menciptakan masyarakat yang adil dan kaum lemah diperlakukan dengan baik QS Al Maidah ayat ke 8:
Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu menjadi orang yang tegak karena Allah, menjadi saksi dengan adil, dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap sesuatu kaum mendarong kamu untuk berlaku tidak adil, dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al Maidah ayat ke 8:)
Dalam Ayat Al Quran Surat Al Maidah ini, Allah menyuruh berbat adil dan kebaikan, orang-orang yang beriman dilarang berbuat tidak adil meskipun kepada musuhnya, dan tetap memegang kepada keadilan, serta lebih dari itu Al Quran menempatkan kedilan sebagai bagian integral dari Taqwa. Dalam masalah keadilan, kata kunci yang digunakan dalam Al Quran adalah “adl dan qist”. Adl dalam bahasa arab bukan berarti keadilan, tetapi mengandung pengertian yang identik dengan sawiyyat. Kata itu juga mengandung makna penyamarataan dan kesamaan.
Penyamarataan dan kesamaan, sangat berlawanan dengan kejahatan dan penindasaan. Sedangkan Qist, mengandung makna distribusi, angsuran, jarak yang merata, dan juga keadilan, kejujuran, dan kewajaran. Taqassata, salah satu kata turunannya, juga bermakna distribusi yang merata bagi masyarakat. Dan qistas, kata turunan yang lainnya, bararti keseimbangan berat. Sedangkan kedua kata didalam Al quran yang digunakan dalam menyatakan keadilan, yakni ‘adl dan qist, mengandung makna distribusi yang merata. Suatu konsep apabila tidak diturunkan dalam dataran praktek sosial akan percuma, maka konsep keadilan perlu bukti konkrit dalam masyarakat. Hal ini bisa dengan ujud, penyamarataan bahwa manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Konsep keadilan memiliki tiga kreteria.
Pertama, kebebasan dalam kesadaran.
Kebebasan difahami, sebagai satu istilah yang menekankan kebolehan seseorang individu untuk bertindak mengikuti kehendaknya sendiri. Berbicara tentang kebebasan, tidak luput dengan keterpaksaan. Islam memandang kebebasan dan keterpaksaan manusia dalam setiap prilaku, untuk menemukan kehidupan yang paling baik walaupun kebebasan tidak memiliki sifat keterikatan. Tetapi Islam sudah menggariskan, melalui aturan-aturan yang tersirat dan tersersurat di dalam Al Quran maupun Al Hadist. Dengan harapat terwujudnya insan kamil, insat Syumul, manusia integralis, dan dalam terminologi pembangunan nasional dikenal dengan istilah manusia indonesia seutuhnya.
Manusia menurut hukum alam ciptaan Tuhan, mempunyai kebebasan dalam kemauan dan memiliki daya dalam dirinya untuk mewujudkan perbuatan yang dikehendakinya. Khoron Rosyadi salah satu tokoh pendidikan Islam, mengutip dari Muhammad Abduh, bahwa manusia secara alami mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Dalam tindakannya, manusia akan menggunakan pertimbangan-pertimbangan sebelum mengaktualisasikan idenya. Salah satu pertimbangan yang diambil manusia, adalah dari kitab suci atau lesan utusan Tuhannya.
Seorang muslim akan sadar terhadap pedoman hidupnya, Al Quran dan Al Hadis/Sunnah akan dijadikan pedoman dan bahan pertimbangan dalam kesadaran berkehendak. Dengan harapan, seorang muslim akan menjadi insan yang bertaqwa kepada Allah dengan potensi kesadaran yang diarahkan dan dipandu oleh kitab sucinya.
Dua, Prinsip persamaan menyeluruh bagi semua manusia
Prinsip persamaan, secara substantif merupakan salah satu elemen bagi terbentuknya masyarakat yang rasional. Musa Asyari dalam bukunya Filsafat Islam sunnah nabi dalam berfikir, mengatakan bahwa prinsip persamaan memiliki arti, semua kelompok sosial pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama, tanpa harus menghilangkan adanya stratifikasi sosial yang telah menjadi realitas sosial, dan masing-masing kelompok memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dari pernyataan Musa Asyari ini memiliku arti bahwa, persamaan kedudukan antara individu sudah menjadi ketetapan dari Tuhan. Bahkan Allah mengisyaratkan dalam Al Quran bahwa kedudukan manusia sama, hanya saja yang membedakan adalah ketaqwaan kepada Alloh.
Islam sebagai kekuatan revolusioner, salah satu misinya adalah melawan segala bentuk tirani penindasan dan ketidak adilan menuju persamaan tanpa kelas. Islam juga berperan dalam upaya, mewujudkan nilai-nilai perjuangan pemusnahan penindasan bagi orang-orang miskin serta persamaan hak dan kewajiban diantara sesama seluruh masyarakat .Persamaan tanpa kelas ini menjadi tuntutan, karena setiap individu memiliki hak yang sama dalam kehidupan sosialnya.
Konsep kesamaan derajat, dapat dilihat dari proses ibadah sholat berjamaah maupun ibadah haji. Individu yang menjalankan sholat dari beragam latar belakang, pejabat, pedagang, bahkan penjual asongan, semuanya dinilai sama derajat dalam prosesi tersebut. Dari kutipan diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa, Islam mengajarkan tentang persamaan derajat, karena hanya ketaqwaan kepada Allah saja lah yang menjadi perbedaan. Selaian itu kesamaan derajat bukan berarti menghilangkan kelas sosial, tetapi kesadaran kritis bahwa setiap muslim memiliki hak dan kewajiban yang sama. Mengingat hal ini sebagai fitrah kehidupan, untuk terciptanya tatanan masyarakat yang ideal.
Tiga, Tanggung jawab sosial dan individu.
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (Ali Imran ayat ke 110)
Islam mengakui adanya tanggung jawab sosial ataupun individu, dalam kutipan Al Quran Surat Ali Imran ayat ke 110 diatas, penulis memahami bahwa ummat Islam adalah ummat yang terbaik dan memiliki kewajiban untuk beramarma’ruf nahi munkar selain itu juga umat Islam memiliki kewajiban untuk beribadah kepada Allah.
Realisasi dari tanggung jawab sosial dan individu dapat dilihat dari mekanisme zakat, dalam harta pribadi ada sebagain hak bagi golongan masyarakat lain sebagai manifestasi tanggungjawab sosial, yaitu golongan lemah yang membutuhkan. Prinsip tersebut dikenal dalam Islam melalui mekanisme zakat. Zakat memiliki dua fungi, fungsi sebagai hamba Allah dalam menjalankan ibadah kepada Allah, yang larinya sebagai tanggungjawab pribadi sebagai hamba yang taat. Fungsi kedua, harta tidak semata-mata digunakan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan harus berfungsi sosial, yang mengarah kepada kemaslahatan kepada orang lain.
Dari uraian diatas, penulis menggaris bawahi bahwa konsep keadilan harus memiliki 3 (tiga) syarat. Pertama, Syarat kebebasan dalam kesadaran yang berpusat pada Al Quran dan Hadis. Kedua, Prinsip persamaan menyeluruh bag semua manusia. Hal ini mengingat bahwa, Islam mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, saling tolong menolong, dan saling membantu tanpa melihat stratifikasi sosial. Ketiga, Tanggung jawab sosial dan Individu yang memiliki arti bahwa seorang muslim memiliki tanggungjawab untuk beribadah kepada Allah (Khablum minallah) dan tanggung jawab sosial yang di ujudkan secara nyata (khablum minnannas) yang didasari dengan sifat tawazun (keseimbangan antara keduanya) mengingat Hadis Nabi
وَاللهُ لاَ يُؤْمِنُ, وَاللهُ لاَيُؤْمِنُ, وَاللهُ لاَ يُؤْمِنُ : قِيْلَ : مَنْ يَارَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ : اَلَّذِىْ لاَ يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ. (متفق عليه)
Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ditanya: Siapa ya Rasulallah ? Jawab Nabi: ialah orang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya (Mutafaqun ‘ alaih).