Kedudukan Ijtihad Terhadap Al Kaun
Setiap kita berdiskusi masalah agama tidak jarang kita melemparkan kata-kata Ijtihad. Akan tetapi makna Ijtihad kadang kita kurang memahami, walhasil kita bisa salah arti. Islam menempatkan Ijtihad sebagai hukum yang ketiga setalah Al-Qur`an dan Sunnah, itupun dipakai ada sebab–sebab tertentu. Salah satu sebab memakai dalil ijtihad adalah, tidak ditemukannya hukum–hukum yang tersirat didalam Al-Qur`an maupun sunnah terhadap persoalan aktual yang berkembang.
Persoalan akan muncul, ketika setiap orang mempunyai otoritas untuk berijtihad. Kasus–kasus liberalisme, universalisme, dan trans agama dikalangan kaum muda muslim, tidak lepas dari pemahaman Ijtihad yang kurang benar. Sehingga Ayat-ayat Al-Qur`an sering disalah tafsirkan sesuai pikiran (ro'yu) dan syahwatnya semata. Kasus Amina Wadud, yang memperbolehkan wanita menjadi imam shalat jumat, serasa menjadi kontrofersi dan keambiguan dikalangan umat Islam. Persoalan lain muncul seorang mahasiswa yang sekolah diuniversitas yang berlabel Islam, mengatakan bahwa telah dihalalkannya nikah sesama jenis hal ini menambah betapa rancunya pikiran para generasi muda Islam kita. Padahal Allah SWT sudah melarang umatnya untuk tidak mencampur adukkan antara kebenaran dan kebatilan QS AL Baqarah : 22
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu Mengetahui.
Oleh sebab itu, untuk menangkal paham–paham liberalisme dan sejenisnya perlu di ketahui tentang definisi, syarat–syarat Ijtihad dan kedudukan Ijtihad terhadap ayat–ayat Allah yang terhampar (Al Kaun) sebab salah satu obyek kajian Ijtihad adalah Al Kaun.
Setiap muslim mengakui bahwa, Allah SWT menurunkan ayat-ayat "Qouliyah" kepada umat manusia melalui malaikat jibril dan nabi-nabiNya dan tidak ada keragu-raguan didalamnya. Ia juga membentangkan ayat-ayat kauniyah secara nyata yaitu alam semesta. Salah satu bukti kebenaran hal tersebut adalah undangan kepada manusia untuk berfikir, karena sesungguhnya dalam penciptaanNya, yakni kejadian benda-benda angkasa seperti matahari, bulan, dan jutaan gugusan bintang-bintang yang terdapat dilangit, atau dalam pengaturan sistem kerja langit yang sangat teliti serta kejadian dan perputaran bumi pada porosnya yang melahirkan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda kemaha kuasaanNya.
Mengenai ayat-ayat kauniyah tersebut dengan jelas Allah me-nyebutkan di dalam Al-Qur`an, seperti yang terdapat didalam surah Ar Ra’d ayat 3 :
“ Dialah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya. Dia menjadikan padanya buah-buahan berpasang-pasangan. Allah (Jualah) yang menutupkan malam pada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir” (Ar-Ra’d : 3)
Firman Allah SWT dalam QS. Al Imran : 190
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
Alam semesta selain sebagai ayat-ayat kauniyah yang merupakan jejak-jejak keagunganNya, ia juga merupakan himpunan-himpunan teks secara konkrit yang tidak henti-hentinya mengajarkan kepada manusia secara mondial bagaimana bersikap dan berprilaku mulia patuh kepada kefitrian kodrat, harmoni yang begitu menentramkan, kerelaan yang tulus dalam membahagiakan umat manusia. Khairan Rasyadi dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Profetik mengatakan bahwa Ijtihad yang diarahkan kepada interpretasi wahyu dan Al Kaun akan menghasilkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggembirakan. Sebab interpretasi manusia atas wahyu akan menghasilkan pemahaman agama yang aktual. Sementara interpretasi terhadap Al kaun akan menghasilkan ilmu pengetahuan.
Dari segi bahasa, kata Ijtihad artinya "bersungguh-sungguh": rajin, mencurahkan tenaga dan pikiran, atau bekerja dengan sungguh-sungguh. Sementara itu dari segi istilah ijtihad berarti "mencurahkan segala pikiran dan kemampuan untuk menetapkan atau menemukan hukum syara' (Islam) yang tidak ditetapkan secara jelas dalam Al-Qur`an ataupun Hadits". Berdasarkan terminologi fiqih Islam, ijtihad mempunyai arti yang khas, Al Ghazali menjelaskan ijtihad sebagai "mencurahkan segenap kemampuan dalam melakukan sebuah perbuatan mencurahkan segenap kemampuannya dalam mencari ilmu tentang hukum-hukum syariat."Al Dahlawi menjelaskan" Hakikat ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci. Sumber Islam yang ketiga ini, mempunyai peran sangat penting. Mengingat perkembangan zaman dan globalisasi semakin hari semakin berubah, sehingga sering muncul persoalan-persoalan baru ditengah-tengan umat Islam yang memerlukan solusi-solusi yang tepat sesuai ajaran dan perintah Allah SWT dan ajaran Rasulullah.
Dari keterangan di atas, bahwa ijtihad bukan perbuatan yang dilakukan sekedar membuka-buka kitab tafsir atau hadits lalu dengan mudah ditarik sebuah kesimpulan hukum. Dalam ber-ijtihad dibutuhkan kesungguhan dan keseriusan dengan mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk mendapatkan hukum-hukum syariat. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ijtihad bukan perkara yang mudah, tetapi ijtihad juga harus diupayakan pada setiap generasi, agar ajaran Islam tetap dinamis, dan siap memberikan solusi atas segala problematika kontemporer.
Syarat-Syarat Ijtihad
Ijtihad harus dilakukan bagi orang yang mempunyai syarat – syarat sebagai mujtahid. Al Ghazali berkata" seorang mujtahid harus memiliki dua syarat: Pertama, hendaknya dia menguasai sumber-sumber syariat (kitab, sunnah, ijma' dan aqal). Kedua, hendaknya dia seorang yang adil dan menghindari kemaksiatan-kemaksiatan yang menggugurkan keadilan. Syarat kedua ini adalah syarat diterimanya fatwa mujtahid, bukan syarat menjadi seorang mujtahid. Untuk lebih detailnya syarat-syarat ijtihad adalah sebagai berikut:
1. Menguasai bahasa Arab dengan bagian-bagiannya, seperti tata bahasa arab (nahwu shorf, dan i'lal), Balaghah (ma'ani, bayan dan badi') serta tradisi dan percakapan orang-orang arab, syarat ini diperlukan karena Al Qur an dan Hadist diucapkan dan ditulis dalam bahasa arab yang sangat tinggi dan indah.
2. Mengetahui asbabun nuzul ayat-ayat Al Qur an Mengetahui ilmu mantiq (logika) sesuai yang dibutuhkan untuk memahami Al Qur an dan sunnah.
3. Mengetahui ilmu ushul fiqh (dasar-dasar hukum syariat). Ilmu ini membahas tentang apa saja yang harus diketahui atau dikuasai seorang mujtahid sebelum mengambil hukum dari Al Qur an dan sunnah, yang mencakup masalah umum, khusus, nasikh, mansukh, mutlaq. Dan juga bagaimana menangkap perintah Allah, apakah perintah itu wajib, atau tidak, dan larangan mengandung arti haram atau tidak.
4. Mengetahui ilmu rijal, yaitu yang membahas tentang biografi para perawi hadist. Yang menjadi fokusnya adalah mencari tahu tentang kejujuran dan ketakwaan para perawi hadist, karena hal ini berkaitan erat dengan kedudukan sebuah hadist, apakah shahih, hasan, dahaif dll.
5. Menguasai 'Ulum ul Hadist atau musthalahul hadist. Ucapan, perbuatan dan persetujuan (sunnah)Nabi Saww telah dicatat dalam beberapa kitab hadist dan jumlahnya mencapai ribuan.
6. Menguasai tafsir dan maksud-maksud Al Qur an.
Penguasaan prinsip-prinsip di atas adalah mutlak sifatnya bagi mujtahid, artinya seorang muslim tidak boleh begitu saja secara serampangan mencari dalil pembenar dari Al Quran dan Sunnah, tetapi diperlukan sebuah ijtihad untuk mendudukkan masalah dan persoalan secara benar oleh ahlinya. Dengan usaha ijtihad ini, ummat tidak akan kesulitan dan kebingungan lagi dalam menghadapi persoalan-persoalan yang tidak tercantum didalam Al Quran maupun Sunnah, karena persoalan tersebut sudah dapat terpecahkan dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang dihasilkan dari hasil ijtihad itu sendiri. Dengan kerangka berijtihad diatas, solusi- solusi yang akan diambil diharapkan menjadi berkah atas persoalan yang telah muncul. Interpretasi dari aksi ijtihad ini salah satu hasil nyatannya adalah menimbulkan ilmu baru.

0 Responses to “Kedudukan Ijtihad Terhadap Al Kaun”:
Posting Komentar