MEMILIH PIMPINAN MASA DEPAN
Dalam memilih pemimpin, Al-Qur’an tidak memberikan petunjuk tekhnis secara detail dan rinci. Rasulullah Muhammad SAW, juga tidak pernah menunjuk siapa pengganti sesudah beliau wafat. Empat pemimpin Islam setelah Rasulullah (Al-Khulafa Ar-Rasyidin) dipilih dengan cara yang berbeda-beda. Abu Bakar As-Sidik dipilih dengan cara musyawarah terbuka tanpa ada calon sebelumnya di Saqibah Bani Saidah. Khalifah Umar bin Khatab dipilih dengan cara penunjukkan oleh Khalifah Abu Bakar berdasarkan keputusannya dengan tokoh-tokoh terpercaya, dikalangan sahabat kemudian diumumkan pada khalayak dan rakyat menyetujuinya. Khalifah Usman bin Affan dipilih dengan pemilihan yang dilakukan oleh Majlis Syura dengan pemilihan yang dilakukan oleh Majlis Syura (Formatur) sebanyak 6 orang yang dibentuk oleh Khalifah Umar bin Khatab. Sedangkan Khalifah Ali Bin Abi Thalib, dipilih dalam situasi kacau setelah terbunuh Khalifah Usman bin Affan. Pemilihan dilakukan secara spontan dan terkesan darurat, yang dimulai oleh kaun yang tidak puas dengan khalifah usman.
Dari kenyataan seperti tersebut diatas, terdapat isyarat bahwa persoalan penyelenggaraan kekuasaan biarlah diselesaikan oleh umat manusia dengan cara musyawarah. Sebagaimana Firman Allah dalam Qur’an Surat Ali Imran ayat 159 :
Artinya :
.......bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (politik, perang, ekonomi dan masalah-masalah kemasyarakatan lain). Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.(Q.S Ali Imran : 159)
Sistem politik seperti itu disebut teodemokrasi yaitu pemerintah dimana kedaulatan wahyu membatasi kedaulatan rakyat. Namun demikian umat (Rakyat) mempunyai kedudukan utama untuk memusyawarahkan masalah-masalah yang belum jelas hukumnya. Istilah lain dari itu adalah teonomokrasi atau Nomokrasi.
Dalam kepemimpinan Islam ada tiga pengertian (konsep) yaitu : khalifah, Imam dan Ulil Amri. Pertama, Khalifah diartikan sebagai wakil Tuhan dimuka bumi, pengatur, penguasa yang mengatur kehidupan dunia. Kemudian lahir istilah Khalifatur Rasul atau Khalifatun Nubuwah yaitu pengganti Nabi sebagai pembawa risalah atau syariat, memberantas kedhaliman dan meneggakkan keadilan. Kedua, Imam diartikan lebih spesifik untuk menyebut pemuka agama, pemimpin keagamaan atau pemimpin spiritual yang diikuti dan diteladani fatwa secara patuh oleh pengikutnya. Dalam beberapa Al-Hadits, Al Imam sering diartikan dengan pemimpin / penguasa atau Al Amier, yang memiliki kekuasaan atau wewenang mengatur orang-orang atau masyarakat. Ketiga, Ulil Amri diartikan sebagai pemerintah, ulama, cendekiawan, pemimpin militer atau tokoh-tokoh yang menjadi tumpuan bagi umat, menerima amanat dari anggota masyarakat. Umat Islam diperintahkan untuk taat pada perintah Allah, Rasul dan Ulil Amri (pemerintah) yang syah, sebagaimana Firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 59 :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Sulthan, Mulk dan Hukm.
Dalam Al-Qur’an paling tidak ada tiga buah kata, yakni ”Sulthan”, ”Mulk”, dan ”Hukm”, yang dapat memberikan petunjuk tentang bagaimana sesungguhnya pandangan Islam tentang pemerintahan (Politik). Kata ”Sulthan” dapat ditemui dalam Al-Qur’an Surat An Nisa’ ayat 90, Al-Isra’ ayat 33, 80 dan Al Haysr ayat 6. Sulthan merupakan kata yang berkonotasi sosiologis, karena berkenaan dengan kemampuan mengatasi orang lain. Dan dapat dipahami sebagai ” Kemampuan fisik untuk melaksanakan pengaruh atau paksaan terhadap orang lain atau masyarakat”. ”Mulk” terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 247, Ali Imran ayat 26, Al Hasyr ayat 23 dan An Naml ayat 23. Kata ”Al-Mulk” dalam ayat tersebut menunjuk pada konsep kekuasaan dengan sifat umum dan berdimensi kepemilikan. Bila dikaitkan dengan politik kata ini menunjukkan bahwa kekuasaan dimiliki manusia merupakan pemberian Allah SWT. Dalam konsep Islam semua hal yang dimiliki manusia adalah titipan Allah dan manusia hanya diperintahkan untuk menggunakannya sesuai dengan ”aturan” sang penitip. Sedang kata ”Hukm” dapat dijumpai dalam Al-Qur’an Surat : Al Qalam ayat 36 – 41, Yunus ayat 35 , Ash Syaffar ayat 154, An Nahl ayat 59 dan Al Anbiya’ ayat 78. Kata ”Hukm” berarti ”penyelenggaraan ketertiban dalam kehidupan umat manusia dengan pendayagunaan aturan-aturan atau norma-norma hukum baik yang bersumber dari Allah dan RasulNya maupun dari manusia melalui ijtihad.
Secara akal sehat dapat dikatakan politik adalah sarana untuk mencapai tujuan, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur’an untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat antara lain : (1) mewujudkan kehidupan yang selaras dengan fitrahNya (al-Adl), (2) mewujudkan kebajikan dengan tegaknya hukum (al Ikhsan), (3) memelihara dan memenuhi hak-hak masyarakat dan pribadi (al-Qisth), menjauhi kekejian (Al-Fahisyat) al Munkar dan kesewenang-wenangan (Al-Baghy).
Menurut Al-Qur’an kekuasaan Politik dijanjikan kepada orang-orang beriman dan beramal shaleh, sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nur ayat 55 :
Artinya :
Kaidah Memilih Pemimpin
Kaidah apakah yang harus diwajibkan sebagai pedoman dalam memilih seorang pemimpin ? tentu kita tidak dapat menyambung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan Ijtihad para ulama. Dalam memilih pemimpin ada beberapa kaidah sebagai berikut :
1. Tidak memilih orang kafir sebagai pemimpin. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat An Nisa’ ayat 144 :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali[368] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?
Siapa yang menyerahkan urusan, kepada bukan ahlinya, tunggulah kehancurannya. (HR. Bukhori Muslim).
3. Memilih pemimpin yang akseptabel, dicintai dan mencintai umatnya, mendo’akan dan dido’akan ummat dan bukan pemimpin yang dibenci dan membenci, melaknat dan dilaknat umat. Sebagaimana sabda Rasulullah Muhammad SAW sebagaimana artinya : ” Sebaik-baiknya pemimpin ialah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berada untuk mereka dan mereka berada untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin ialah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu laknati mereka dan mereka melaknati kamu.” (H.R. Muslim) .
4. Memilih pemimpin yang mengutamakan, membela dan mendahulukan kepentingan umat, menegakkan keadilan, melaksanakan syariat, berjuang menghilangkan segala bentuk kemungkaran, kekufuran, kekacauan dan fitrah. Sebagaimana firman Allah, Q.S Al-Baqarah 193.
Artinya :
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
"Siapa yang memimpin, sedangkan ia tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, tidaklah ia termasuk kedalam golongan mereka. (HR. Bukhari Muslim).
”Sesungguhnya Fir'aun Telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”.
6. Memilih pemimpin yang sehat dan kuat
"Orang muslim yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada orang muslim yang lemah" (Al-Hadits).
7. Memillih pemimpin yang memiliki sifat-sifat utama
Rasul : benar (sidiq), terpercaya (amanah), menyampaikan, melaksanakan juga (tabliq) serta cerdas (fathonah).
Memilih peimpin yang ganderung persatuan dan kesatuan dan membenci perpecahan
0 Responses to “MEMILIH PIMPINAN MASA DEPAN”:
Posting Komentar