Andi Triyanto, SEI .
A. Pendahuluan
Islam adalah dien yang sempurna dan ditasbihkan menjadi sebuah agama yang rahmatan lil ‘alamiin. Kesempurnaan tersebut ditopang oleh pedoman hidup bagi penganutnya yang secara langsung mendapatkan jaminan keontetikan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala sampai akhir jaman. Jaminan kesempurnaan juga diberikan oleh Muhammad Shalallaahu alaihi wassalam yang berperan sebagai nabi penyampai risalah dengan sifat shidiq, amanah, fathanah, dan tabligh yang senantiasa melekat pada dirinya, sehingga melalui beliau, Islam menjadi sebuah ajaran yang jelas, gamblang, dan mudah untuk dipahami .
Selain itu Islam dibangun oleh kekuatan aqidah yang merupakan pondasi dasar untuk penopang berdirinya syariat . Syariat merupakan aturan-aturan yang tercakup di dalamnya ibadah, muamalah, dan akhlaq, bersifat mengikat bagi setiap manusia yang telah menyatakan keimanannya dengan aqidah Islam. Maka memurnikan aqidah menjadi konsekuensi logis dan keniscayaan mutlak untuk terwujudnya penerapan syariat Islam dengan sebenar-benarnya, yang akan membentuk pribadi berkarakter sekaligus menjadi cikal peradaban yang agung.
Hal ini terbukti perjalanan Islam yang sampai sekarang mendekati usia 15 abad telah memunculkan berbagai inspirasi peradaban dunia. Meskipun berbagai sebab kemudian menjadikan pasang surut kejayaan yang senantiasa menghiasi setiap perguliran peradaban . Hikmah dari perguliran masa kejayaan peradaban Islam tersebut dapat menambah wacana dan khasanah pembelajaran terutama dalam sejarah peradaban Islam. Seperti halnya adalah masalah banyak bermunculannya kelompok/sekte dalam Islam yang mencerminkan perbedaan cara pandang dan cara paham terhadap Islam yang notabene memiliki sumber dan dasar hukum yang satu. Makalah ini khusus mengangkat masalah perselisihan Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah. Hal yang pertama dikaji adalah menjelaskan siapa Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah untuk selanjutnya mengungkap titik permasalahan yang menjadi perselisihan diantara keduanya.
B. Hakikat Perbedaan
Realita berbeda pendapat dalam Islam harus dijadikan kesadaran untuk menyikapi sebijaksana mungkin, karena tanpa hal tersebut akan berdampak terhadap melemahnya kekuatan umat. Terlebih ketika tidak ada pembedaan antara masalah ushul dan furu’ maka akan dengan mudah antar sesama umat Islam saling menyalahkan, bahkan memberikan label kafir atau bid’ah kepada pihak lain yang dianggap berseberangan, sehingga tidak ada lagi persatuan hati diantara mereka. Padahal perbedaan pendapat dalam Islam sering kali sebenarnya hanya pada persoalan fiqhiyyah, yang terkait dengan 2 (dua) permasalahan: keberadaan dalil dan pemahaman terhadap dalil. Hal ini kemudian menyebabkan fiqh menjadi “agama” baru bagi sesama pemeluk Islam untuk menjustifikasi kebenaran pendapatnya dan menyalahkan pendapat lain yang tidak sejalan .
Fakta tersebut kemudian tersemai subur dan bahkan langgeng di kalangan ummat disebabkan salah satunya oleh beredarnya hadits: “perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat” secara luas di masyarakat, sehingga berbeda pendapat menjadi sebuah hal biasa bahkan dianggap sebagai penambah khasanah dan kekayaan wacana . Beda pendapat sebenarnya merupakan kewajaran dalam beragama dengan dimensi ruang dan waktu yang berbeda, terlebih keterpautan jarak yang relatif lama dengan Rasulullah Shalallaahu alaihi wassallaam, namun kita harus mengembalikan kepada dasar hukum yang paling asasi untuk mendapatkan kebenaran dan keselamatan jalan keluar .
C. Ahlu Sunnah Wal Jamaah
Sunnah secara bahasa memiliki arti jalan, Ibn Manzhur berkata sunnah adalah jalan yang baik atau yang buruk (Lisanul Arab 17/89). Adapun menurut istilah berarti apa yang datang dari Nabi Shalallaahu alaihi wassallaam baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau persetujuan, atau sifat fisik, atau perilaku, atau perjalanan hidup sebelum dan sesudah diangkat menjadi nabi. Asy Syatibi menambahkan pengertian sunnah adalah lawan dari bid’ah, menurut ahli ushul berarti apa-apa yang dinukil dari Nabi Shalallaahu alaihi wassallaam secara khusus dari hal-hal yang belum dinashkan dalam Al Qur’an, dinashkan dari sisi Nabi Shalallaahu alaihi wassallaam dan merupakan penjelas dari Al Kitab. Shalih Ad Dimasyqi menyimpulkan makna ahlussunnah adalah setiap orang yang mengikuti sunnah .
Al Jamaah adalah nisbah persatuan di atas kebenaran. Tidak mau berpecah belah dalam urusan agama, berkumpul di bawah kepemimpinan para imam (yang berpegang teguh) pada al haq, tidak mau keluar dari jamaah mereka, dan mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan salaful ummah . Kata kunci al jamaah adalah kebenaran bukan kelompok, jadi sebagaimana atsar dari Ibn Mas’ud radhiyallaahu anhu termasuk kategori al jamaah adalah senantiasa mengikuti kebenaran meskipun sendirian . Kebenaran tersebut adalah melaksanakan Islam dengan disandarkan pada Rasulullah Shalallaahu alaihi wassallaam dan para sahabatnya .
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengikuti aqidah Islam yang benar, komitmen dengan manhaj Rasulullaah Shalallaahu alaihi wassallaam bersama para sahabat dan tabi’in dan semua generasi yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari qiamat . Ahlu Sunnah Wa al Jamaah memiliki nisbah nama lain, seperti: Firqatun Najiyah (Kelompok Yang Selamat) , Thaifah Mansyurah (Golongan Yang Ditolong) , Al Ghuraba (Kelompok Orang Asing) , dalam wacana orientalisme, disebut dengan Islam Ortodoks .
Berdasarkan hal-hal tersebut, nama Ahlu Sunnah Wa al Jamaah adalah nama syar’i yang melekat pada individu dan atau kelompok/golongan yang selalu konsisten dan komitmen dalam kebenaran yang tidak hanya dan tidak bisa berdasarkan klaim individu atau kelompok Islam tertentu , juga tidak sama dengan Asy ‘ariyah maupun Maturidiyah , dalam hal ini keduanya tidak bisa selalu diidentikkan dengan Ahlu Sunnah Wal Jamaah.
D. Mu’tazilah
Mu’tazilah sering dikenal sebagai kelompok pendewa akal, meletakkan akal di atas nash, baik Al Qur’an terlebih Al Hadits , sehingga masuk dalam firqah aqlaniyyun . Firqah ini sering menolak nash-nash yang bertentangan -menurut mereka- dengan akal sehat meskipun shahih, seperti penolakan Al Nazhzham (salah satu tokoh mu’tazilah) terhadap hadits terbelahnya bulan, dan menuduh Ibn Mas’ud radhiyallahu anhu yang meriwayatkannya sebagai seorang pembohong besar. Tokoh lainnya, Ibrahim Al Jahidz, mencemooh para muhaditsin sebagai kelompok orang yang tidak mempergunakan pertimbangan akal . Mu’tazilah juga dianggap sebagai pioneer ajaran sistematik kaum mutakallimun .
Asal usul Mu’tazilah dalam bahasa berasal dari kata I’tizaal yang berarti meninggalkan, menjauh, dan memisahkan diri . Nama mu’tazilah sesuai pendapat yang kuat, adalah nama yang diberikan oleh Hasan Al Bashri. Asy Syahrastani menyebutnya dengan kelompok Ahl al-Adl wa at-Tauhid, Qadariyyah atau ‘Adliyyah dikarenakan pendapat mereka bahwa manusia memiliki kekuasaan mutlak untuk berbuat sesuatu di luar kekuasaan Allah Tabaraka wa Ta’ala .
Terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai sumber awal munculnya firqah mu’tazilah, namun yang cukup terkenal dan sering dinisbahkan sebagai kelahirannya adalah menyingkirnya murid tercerdas Hasan Al Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al Ghazzaly dari majelis ilmu sang guru karena perbedaan pendapat untuk menghukumi orang Islam yang berbuat dosa . Mu’tazilah kemudian masuk dalam kategori Ahlu bid’ah karena berseberangan pendapat dengan Ahlu sunnah dalam beberapa hal yang merupakan pokok dan prinsip keIslaman sebagaimana yang sudah diajarkan Rasulullah Shalallaahu alaihi wassalam.
Sebagaimana lazimnya nama ahlu bid’ah yang selalu terlekat kata wal furqah yang berarti berpecah belah, maka mu’tazilah sebagai ahlu bid’ah pun terpecah menjadi beberapa kelompok di antara mereka. Beberapa pecahan mu’tazilah berdasarkan klasifikasi keyakinan dan amalan mereka; al majusi, al tsanawiyah, al wa’idiyyah, al muathilah, al qadariyyah, al haraqiyyah, al munfiyyah, al lafdziyah, al quburiyyah . Pecahan mu’tazilah berdasarkan klasifikasi tokoh; al washiliyyah, al huzailliyyah, an nazhzamiyyah, al khabitiyyah dan al haditsiyah, al bisyariyyah, al mu’amariyyah, al mardariiyah, ats tsumamah, hisyamiyah, al jazizhiyah, al khayyathiyyah dan al ka’biyyah, al jiba’iyyah dan basyaniyyah . Firqah ini pernah menjadi aliran resmi dalam agama pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun (198-218 H/813-833 M), yang terkenal dengan pemaksaan keimanan bahwa Al Qur’an adalah makhluk, bukan kalamullah. Hal ini berlanjut pada masa kekhalifahan Al Mu’tashim (833-842 M) dan Al Watsiq (227-232 H/842-847 M) . Imam as Sunnah Ahmad ibn Hanbal rahimahullah kemudian membantah pendapat tersebut pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mutawakil (847-861 M), yang sekaligus merubah haluan aliran resmi dalam pemerintahan kembali menjadi sunni .
Hal tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan dalam pemerintahan sangat berpengaruh terhadap haluan aliran resmi beragama, termasuk dalam agama Islam. Kebijakan pendidikan juga mendapat perhatian besar untuk mendukung setiap aliran yang telah ditetapkan negara, sebagaimana Khalifah Biamrillah (996-1020 M) Khalifah ke-6 Daulat Fahimiah yang berhaluan Syi’ah membangun perpustakaan Jami’ah Al Azhar yang diberi nama Bait al Hikmah dengan haluan kurikulum berdasarkan ajaran aliran Syi’ah. Namun kemudian pada tahun 567 H/ 1171 M setelah ditaklukkan Shalahuddin Al Ayyubi dan dirikannya Daulat Al Ayyubiyah (1711-1269 M) yang menyatakan tunduk pada Abbasiah di Baghdad, maka secara otomatis kurikulum Jami’ah Al Azhar beserta perpustakaannya dirubah haluan menjadi Sunni .
Beberapa contoh pemikiran tokoh- tokoh mu’tazilah diantaranya Abu al Hudzali al Allaf, memiliki kemampuan dialektika yang besar, al shalah wa ashlah, Tuhan yang Maha Bijaksana mesti berbuat karena hikmah dan terbaik untuk manusia. Tokoh lain Al Nazhzham berpendapat keadilan Allah ditunjukkan pada ketidakmampuan mengurangi nikmat di surga maupun menambah azab penghuni neraka, berbuat negative mustahil disandarkan kepada Allah, dia juga mengembangkan teori lompatan (tafrah) untuk menerangkan kemungkinan gerak melewati sebuah ruang yang dapat dibagi secara tidak terbatas, juga teori ketersembunyian dan manifestasi (kumun wa buruz). Ali Al Jubai berpendapat tanpa adanya wahyu manusia sudah terkena taklif dengan kemampuan akalnya, dan mengakui adanya al syari’ah al nabawiyyah selain al syari’ah al al aqliyyah . Dalam wacana kontemporer, Muhammad Abduh dianggap memiliki kedekatan pemikiran dengan mu’tazilah , dan pemikiran tersebut menurun -meski tidak semuanya-kepada muridnya, Rasyid Ridha .
E. Titik Perbedaan

F. Penutup
Simpulan makalah Perselisihan antara Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah terangkum dalam point-point sebagai berikut:
1. Islam terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan merupakan kenyataan berdasarkan fakta dan nash. Diantara kesemuanya hanya 1 (satu) yang selamat, yaitu: Ahlu Sunnah dan yang lainnya masuk neraka sebagai ahlu bid’ah, dan ini berbeda hukumnya dengan kafir yang kekal selamanya di dalam neraka.
2. Ahlu Sunnah Wa al Jamaah sebagai satu-satunya kelompok yang selamat, memiliki nama lain Firqat an Najiyah, Thaifah al Mansyurah, Al Ghuraba, dan dalam wacana orientalisme sering disebut dengan Islam Ortodoks. Kelompok ini memiliki komitmen pada kebenaran dan kemurnian ajaran Islam sebagaimana yang dipraktikkan salaf al ummah, yaitu: Rasul Shalallaahu alaihi wa salam, Shahabat, Tabi’in, Tabiut Tabi’in, serta yang orang istiqamah mengikuti mereka sampai hari qiamat.
3. Nama Ahlu Sunnah Wa al Jamaah senantiasa melekat pada individu/kelompok yang senantiasa memiliki komitmen pada kebenaran/kemurnian ajaran Islam. Al Jamaah sendiri berarti orang yang senantiasa komitmen pada kebenaran, meskipun sendirian. Nama ini merupakan nama syari’i yang tidak bisa berdasarkan klaim atau sekadar pengakuan belaka.
4. Kebalikan dari Ahlu Sunnah Wa al Jamaah adalah Ahlu Bid’ah Wa al Firqah, yang berarti individu/kelompok yang menyelisihi jalan lurus ajaran Islam yang telah diajarkan oleh salaf al ummah. Ahlu Bid’ah diancam di Akhirat dengan neraka tetapi tidak kekal di dalamnya, selama kebid’ahan yang dilakukannya tidak sampai pada tingkat kekufuran.
5. Salah satu firqah yang termasuk golongan ahlu bid’ah adalah mu’tazilah, kelompok yang dikenal dengan aqlaniyyun, pendewa akal. Mu’tazilah dinisbahkan pada peristiwa menyingkirnya Washil ibn Atha’ Al Ghazaly dari majelis Hasan Al Bashri, yang kemudian dianggap sebagai pendiri firqah. Firqah ini pernah menjadi aliran resmi negara pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah, yaitu pada masa Khalifah Al Makmun, Al Muthasim, dan Al Watiq (ada yang menyebut Al Watsiq).
6. Titik perbedaan antara Ahlu Sunnah dan Mu’tazilah terdapat pada 5 (lima) hal pokok, yang sekaligus merupakan ushul al khomsyah mu’tazilah, yaitu: Tauhid, Al Adil, Al Wa’ad Wal Waid, Al Manzilah baynal Manzilatain, dan Al Amru bil Ma’ruf wa nahyu ‘anil munkar. Perselisihan yang lain nampak dalam masalah hadits, mu’tazilah menolak menggunakan hadits ahad untuk hujjah masalah aqidah karena menurut mereka berstatus dzan.
Wallaahu a’lam bishawab.
G. Daftar Pustaka
Al Quran Al Kariim
Abdullah Al Buraikan, Ibrahim Muhammad, “Pengantar Studi Aqidah Islam”, diterjemahkan oleh Anis Matta, Rabbani Press, Jakarta, 1998
Afghan, Ali Masduki dan Munis, Syaifudin, “Kontrvesi Aswaja: Aula Perdebatan dan Reinterpretasi”, LKIS, Yogyakarta, 2000
Afrizal, “Ibn Rusyd: 7 Perdebatan Utama dalam Teologi Islam”, Erlangga, Jakarta, 2006
Al Albani, Muhammad Nashiruddin, “Sifat Shalat Nabi Shalallaahu Alaihi Wassalam”, diterjemahkan oleh Muhammad Thalib, Media Hidayah, Yogyakarta, 2000
Al Atsari, Abu Nuaim, “I’tiqad Ahlu Sunnah Wal Jamaah (KH. Siradjudin Abbas)”, Majalah Al Furqon Edisi 7 Tahun V, 2006 ISSN: 1693-8755
Al Bayanuni, Muhammad Abu Al Fatah, “Islam Warna-Warni: Tradisi Beda Pendapat dalam Islam”, diterjemahkan oleh Razaq dan Usman, Hikmah, Bandung, 2003
Al Barbahariy, Abu Muhammad Hasan, “Syarhus Sunnah”, diterjemahkan Zainal Abidin, Dar El Hujjah, Jakarta, 2003
Al Hilally, Salim Ied, “Al Ghuraba”, Cahaya Tauhid Press, Gresik, 1998
-------------------------, dalam Muslim Al Atsari, “Adakah Isi dan Kulit dalam Ajaran Islam”, Majalah As Sunnah edisi 02 Tahun XI, 2007 ISSN: 1693-3311
Al Jauziyah, Ibn Qayyim, “Membedah Akar Bid’ah”, Pustaka Azzam, Jakarta, 2002
At Tamimi, Muhammad, “Kitab Tauhid”, diterjemahkan Muhammad Yusuf Harun, Hibah Dept. Urusan Islam, Wakaf, Da’wah, dan Penyuluhan Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia, 2003
Al Utsaimin, Muhammad ibn Shalih, “Prinsip-prinsip Dasar Keimanan”, diterjemahkan Aly Makhtum Assalamy, Hibah Dept. Urusan Islam, Wakaf, Da’wah, dan Penyuluhan Kantor Atase Agama Kerajaan Saudi Arabia, 2003
Al Qahthaniy, Said ibn Ali, “Syarh Al Aqidah Al Wasyitiyah Ibn Taimiyah”, diterjemahkan Hawin Murtadho, Pustaka At Tibyan, Surakarta, 2000
Asy Syahrastani, “Al Milal Wa Al Nihal: Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam”, diterjemahkan oleh Asywadie Syukur, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2006
0 Responses to “PERSELISIHAN ANTARA AHLU SUNNAH DAN MU’TAZILAH”:
Posting Komentar