Metallic Text Generator at TextSpace.net

DESAKRALISASI JABATAN

Jabatan hingga kini masih tetap menarik, menyenangkan dan dicari oleh siapa saja “yang memujanya”. Kenyataan itu benar adanya dan syah-syah saja. Sebab bukan rahasia umum lagi bahwa jabatan dapat merubah status sosial dan ekonomi siapa saja yang menjadi pejabat. Jangan heran bila ketika seseorang ingin meraih jabatan itu, rela berkorban harta benda, jiwa dan raga bahkan nyawa. Dorongan phsyhologis dan sosiologis ke arah itu ada dan terbuka luas bagi yang tahu dan mau. Kiranya tidak berlebih bila jabatan disebut sebagai komoditas politik sekaligus komoditas ekonomik. Ambil contoh saja Pilihan Kepala Desa pada tahapan yang paling rendah. Disana terdapat bau aroma “politis dan ekonomis”, yang cukup kental. Apakah pada tingkatan jabatan yang lebih tinggi juga demikian adanya? Entahlah, tetapi kecenderungan yang berkembang demikian adanya. Persoalannya tidak ada dalam konteks itu, tetapi terletak pada “kesakralan” sebuah jabatan. Jabatan adalah sesuatu yang suci. Oleh karena itu jabatan jangan dikotori dengan keangkaramurkaan, ketamakan, arogansi dan kesewenang-wenangan serta kedurhakaan. Jabatan perlu diletakkan pada tempatnya secara proporsional dan profesional. Demikian pula jabatan tidak perlu didewa-dewakan, sehingga tidak mungkin tersentuh dan disentuh bawahan. Jabatan adalah sebuah amanah yang harus dimuliakan. Bukan sebaliknya jabatan merupakan sesuatu yang “angker” dan “menakutkan” serta “milik” pejabatnya. Seorang Sri Sultan HB IX pun tidak memandang demikian. Bagi beliau jabatan adalah Tahta untuk Rakyat. Luar Biasa! Disini tidak ada keterpisahan antara peminpin dan yang dipimpinnya. Apalagi kini telah terjadi pergeseran isme ke arah demokratisasi. Feodalisme telah digusur dan dipinggirkan bahkan ditinggalkan banyak pihak. Adalah sesuatu yang irrasional bila masih ada sementara pejabat yang masih pegang kuat paham feodalis. Pejabat yang seperti ini sudah dapat dipastikan akan terlindas habis oleh roda perkembangan dan tuntutan jaman. Desakralisasi jabatan sudah menjadi kebutuhan seorang pemimpin. Pemimpin yang merakyatlah yang dicintai oleh rakyatnya. Tidak perlu ada garis pemisah antara pejabat dengan bawahannya. Dalam suasana Reformasi dan demokratisasi seperti sekarang ini, menjadi suatu yang “aneh” bila masih ada pejabat yang mengaku bahwa sayalah “Sang Penguasa” sebenarnya. Paham Negara adalah Saya, Pemimpin itu yang benar, Pejabat itu “can do no wrong” sudah tidak relevan lagi, sehingga perlu ditinggalkan. Demikian pula adagium bahwa “Pejabat itu Boos”, “Pejabat itu Raja Kecil”, “Jabatan itu Uang” serta “Jabatan berarti Kekuasaan” adalah sesuatu yang “memalukan”, oleh karena itu tidak pantas untuk dijadikan pegangan. Seorang pejabat tentunya harus membangun “Moment of Truth” kewibawaan, kepercayaan dan keniscayaan. Bukan sebaliknya suasana “menakutkan dan arogansi” yang mencekam. Dalam konteks Tahta untuk Rakyat, suasana Egalitarian seorang pejabat menjadi sangat penting untuk diaktualisasi. Pejabat yang pasang badan bahwa dirinya adalah seorang pejabat, itu menunjukkan bahwa pejabat itu sedang mengalami krisis kewibawaan dan kepercayaan. Kewibawaan seorang pejabat bukan terletak pada “keangkeran” sebuah jabatan melainkan melekat pada budi pekerti, moralitas, keikhlasan, kejujuran dan kekebenaran serta kesungguhan bertindaknya. Pemimpin memang harus kita hormati, kita junjung tinggi, kita dukung dan kita bantu manakala pemimpin itu masih amanah dan memiliki rasa keadilan yang tinggi.

0 Responses to “DESAKRALISASI JABATAN”: