Metallic Text Generator at TextSpace.net

WACANA ISLAM LIBERAL

Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-isu Global. Zuhron Arofi Buku setebal 579 halaman ini di bagi kedalam enam bagian pembahasan yang di tulis oleh 32 orang tokoh yang kompeten dalam bidangnya. Bagian pertama membahas tentang menentang teokrasi. Kaum muslim liberal berkeberatan terhadap perbelakuan syari’ah karena beberapa alasan. Argumen tradisional yang terdapat dalam artikel 1 dan 2 menerapkan bentuk silent sharia: wahyu ilahi menyerahkan bentuk pemerintahan pada kontruksi pemikiran manusia. Nabi merupakan pemimpin pemerintahan, sekaligus juga pemimpin agama, tetapi tidak membangun prinsip-prinsip tertentu bagi pemerintahan selanjutnya. Alasan lain yang diungkapkan adalah pengaruh-pengaruh kekuatan politik yang bersifat merusak yang dimiliki oleh mereka yang memerintah atas nama Tuhan. Taleqani ( artikel 3 ), seorang pemimpin revolusi Iran mengungkapkan kekhawatirannya terhadap munculnya teokrasi di Iran dalam pidato terakhirnya sebelum ia meninggal pada tahun 1979, mengkritik larangan-larangan kepolisian yang kadang-kadang dibebankan kepada rakyat atas nama agama. Keberatan lain yang dimunculkan adalah bahwa tuntutan hukum Islam mengalihkan perhatian kaum Muslim dari perhatian terhadap isu-isu yang substantif. Fuad Zakariyya ( Mesir, lahir 1927) mengemukakan sebuah pernyataan : Elemen penting dari mimpi indahnya kaum revivalis adalah sebuah pelaksanaan syaria’ akan dengan sendirinya menguapkan semua masalah yang menyebabkan kita menderita. Bagaimana caranya? Tidak seorang pun yang tahu. Kebanyakan dari mereka tampaknya begitu yakin bahwa bimbingan illahi akan memandu kita dalam melaksanakan syar’ah. Kemudian, kekuatan-kekuatan dari syurga akan turun tangan untuk memecahkan masalah-masalah kita tanpa melibatkan usaha dari siapapun. Keberatan terakhir menyatakan bahwa orang-orang yang menginginkan pemberlakuan hukum syari’ah pada dasarnya salah dalam memahami status syari’ah. Al Quran memaksudkan syari’ah sebagai sebuah jalan, bukan sebagai sebuah sistem hukum yang siap pakai untuk diberlakukan. Kedua adalah tentang demokrasi. Tema yang kedua ini scara luas diperdebatkan dalam model “liberal sharia”, dengan penekanan khusus pada konsep syura ( syuara), atau musyawarah, yang dipakai untuk memberikan kesempatan atau menuntut pernyataan kehendak umum dalam masalah-masalah kenegaraan. Pendekatan lain mengenai demokrasi adalah “silent sharia”, yang pragmatis, hal ini seperti yang di contohkan oleh Muhammadi Natsir ( artikel 5 ), semuanya menguti Al Quran tetapi argumen utama mereka adalah pentingnya demokrasi dalam kondisi-kondisi nasional tertentu. Ketiga adalah hak-hak perempuan. Posisi Islam liberal tentang hak-hak perempuan harus berbenturan dengan sejumlah pernyataan al Quran dan sunnah yang kelihatannya menunjukkan kontradiksi langsung. Contoh adalah ayat yang menjelaskan tentang poligami, yang secara rasio merupakan bentuk diskrimanis terhadap kaum perempuan, hak-hak dalam hukum waris dan otoritas kesaksian hukum bagi kaum pria yang lebih besar. Keempat hak-hak non muslim. Ketika kaum muslim mampu menaklukkan para non muslim maka isu tentang hubungan antar agama muncul di tahun pertama. Syari’ah menjamin hak non muslim, terutama para ahli kitab ( kaum Yahudi dan Kristen ), untuk tetap menjalankan agama mereka, spanjang mereka memberikan kesetiaan dan membayar upeti kepada pemimpin Muslim yang berkuasa. Kelima kebebasan berfikir, bagian ini mencakup semua topik mengenai ketidaksepakatan intelektual, yang merupakan inti dari persoalan Islam liberal. Kebebasan berfikir tentu saja secara logis merupakan pangkal dari prinsip-prinsip liberal lainya. Sebab kaum liberal harus mempertahankan kebebasan berpikir agar dapat memberikan dasar pembenaran terhadap pengungkapan pemikiran-pemikiran mereka yang lain. Kebebasan berfikir diobrolkan dalam rubrik ijtihad. Keenam adalah gagasan tentang kemajuan. Bagian yang terakhir dalam buku ini adalah merujuk kepada para penulis yang mencoba mengemukakan pandanganya tentang moderniatas dan perubahan sebagai perkembangan-perkembangan positif yang potensial. Sika ini sebagai sebuah bentuk reflesi peralihan kebiasaan yang signifikan dari pandangan-pandangan sejarah tradisional dalam Islam, yang memandang sejarah kontemporer sebagai sebuah kemunduran dan peralihan yang berkesinambungan dari masa-masa awal pewahyuan yang diagungkan. Bentuk-bentuk Islam liberal Islam liberal berjalan dalam dua konteks intelektual, yaitu Islam dan barat. Para penulis dalam buku ini menempatkan penekanan masing-masing sesuai dengan kopetensi yang berbeda, namun semuanya dapat di analisis dalam konteks yang lainya. Maka dari itu Kurzman dalam pengantar buku ini mencoba membagi Islam liberal kedalam tiga model sebagai berikut : Syari’ah liberal ( liberal sharia ) Bentuk pertama ini menyatakan bahwa syari’ah itu bersifat liberal pada dirinya sendiri jika dipahami secara tepat. Sebagai contoh: Piagam Madinah ( Medina document) – dimana Rasulullah menjamin hak-hak non muslim untuk hidup dibawah pemerintahan muslim—menghadirkan sebuah contoh bagaimana syari’ah memecahkan masalah-masalah kontemporer secara liberal. Liberal syari’a merupakan bentuk Islam liberal yang paling berpengaruh, ini di dasarkan pada tiga penjelasan. Pertama, liberal sharia menghidari tuduhan-tuduhan ketidakotentikan otentisas dengan mendasarkan porsi-porsi liberal secara kuat dalam sumber Islam ortodoks. Kedua, liberal sharia menyatakan bahwa porsi-porsi liberal bukan sekedar pilihan manusia, melainkan perintah Tuhan. Ketiga liberal sharia itu memberikan rasa bangga akan penemuan yang dihasilkan, berpendapat bahwa Islam liberal lebih tua dari pada liberalisme barat merupakan sebuah retorika yang kuat dikalangan orang-orang yang terlalu sering menginternalisasi citra orang-orang barat tentang inferioritas dan keterbelakangan. Silent sharia Bentuk argumentasi Islam liberal yang kedua berpandangan bahwa syari’ah tidak memberi jawaban jelas mengenai topik-topik tertentu. ” Silent sharia” bersandar kepada tafsir al Quran untuk membentuk pikiran utama. Sharia’ah yang ditafsirkan ( interprerted sharia ) Bentuk ketiga argumentasi Islam Liberal, dan yang paling dekat pada perasaan atau pikiran-pikiran liberal barat, berpednapat bahwa syari’ah ditengahi oleh penafsiran manusia. Dalam pandangan ini, syari’ah merupakan hal yang berdimensi ilahiah, sedangkan penafsiran-penafsiran manusia dapat menimbulkan konflik dan kekeliruan. Kaum liberal yang lainnya berpendapat, menyangkut dasar-dasar empiris, bahwa keanekaragaman penafsiran merupakan salah satu dari tradisi Islam. Beberapa hal yang penting dalam buku ini yang patut menjadi catatan adalah: pertama, para penulis dalam bunga rampai ini tidak menganggap diri mereka sebagai kaum liberal. Kedua, para penulis mungkin tidak mendukung seluruh aspek ideologi liberal, sekalipun mereka menganut beberapa di antaranya. Ketiga, bahwa istilah liberal mengandung konotasi negatif bagi sebagian dunia islam, dimana ia diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas, kemunafikan yang mendewakan kebenaran, dan permusuhan kepada Islam. Keempat, konsep Islam liberal harus dilihat sebagai sebuah alat untuk menganalisis, bukan kategori yang mutlak. Kelima, tidak ada klaim apapun mengenai kebenaran interpretasi liberal terhadap islam. Sebagai kesimpulan dari buku ini adalah, bahwa wacana yang ditawarkan oleh para tokoh intelektual mengenai Islam liberal merupakan sebuah gugatan terhadap kemapanan tafsir dan tradisi keagamaan yang selama ini telah berjalan. Mereka mecoba untuk merumuskan dan memahami kembali doktrin Islam yang bersifat universal dan disuguhkan dalam bentuk yang lebih fleksibel, dari mulai persoalan kenegaraan, pluralisme, hak-hak perempuan, demokrasi, kebebasan berfikir, dan pentingnya rekonstruksi pemikiran Islam untuk mendapatkan solusi-solusi yang cerdas terhadap segala persoalan ummat.

0 Responses to “WACANA ISLAM LIBERAL”: