Metallic Text Generator at TextSpace.net

MEREKONTRUKSI ULANG KEBANGKITAN NASIONAL

Kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini tidaklah begitu saja jatuh dari langit, “Bak Durian Jatuh dari Pohonnya”. Tidak, sama sekali tidak! Kemerdekaan merupakan produk Kebangkitan Nasional atau Kebangunan Nasional. Kelahiran Budi Utomo tanggal 20 Mei 1908 seabad yang lalu merupakan simbol Kebangkitan Nasional. Boleh dikatakan bahwa Budi Utomo dengan kebangkitan nasionalnya merupakan “entry point” tumbuhnya rasa kebangsaan kita. Kelahiran Budi Utomo membawa pergeseran “paradigma” perjuangan bangsa. Sebelum itu, perjuangan kita masih sangat “fragmentalis” kesukuan dan kedaerahan. Konsep perjuangannya didasarkan pada konsep “regional dignity” (harkat daerah) dan “regional pride” (kebanggaan daerah) serta “etnis pride” (kebanggaan suku). Misalnya: Sultan Agung (1628-1629) untuk kepentingan negeri Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa (1650-1682) untuk kepentingan Banten, Kapitan Pattimura (1817) untuk kepentingan Maluku dan masih banyak lagi contohnya.

Metode perjuangan yang seperti itu ternyata menemui kegagalan dan gampang ditumpas oleh bangsa penjajah. Bukti kegagalan seperti itulah yang mengilhami para pemimpin bangsa pada saat itu untuk merubah “paradigma” perjuangan bangsa. Mereka sadar bahwa perjuangan yang dilakukan secara “fragmentalis” kedaerahan dan kesukuan ternyata salah dan tidak menghasilkan apa-apa. Berangkat dari pengalaman dan bukti-bukti seperti itu maka kelahiran Budi Utomo mendorong para pejuang bangsa untuk merubah taktik dan strategi perjuangannya. Guna mengusir penjajah diperlukan adanya semangat persatuan dan kesatuan nasional yang kuat dilandasi oleh konsep perjuangan yang tepat yakni konsep “national dignity” (harkat nasional) dan “national pride” (kebanggaan nasional) yang utuh dan menyeluruh.

Perjuangan menegakkan faham kebangsaan (nasionalisme) membutuhkan persamaan kedudukan antar etnis, suasana “egalitarian” dan “kebersamaan” berdasarkan perasaan senasib dan sependeritaan. Hal ini sesuai dengan pemikiran dari Otto Bauer (1882-1939) bahwa faham kebangsaan itu lahir karena adanya persamaan perangai dan tingkah laku dalam memperjuangkan persatuan dan nasib yang sama (I Wayan Badrika, 1996).

Refleksi Historis-Kritis.

Bila merefleksi secara historis-kritis tentang perjalanan bangsa Indonesia hingga berakhirnya Orde Baru dan datangnya Era Reformasi, terdapat nilai-nilai luhur perjuangan bangsa yang patut dijadikan teladan bagi generasi berikutnya. Pada kenyataannya membangun sebuah Negara Kebangsaan ditengah-tengah pluralisme budaya dan etnis, bukanlah barang mudah, perlu kita sadari dan pahami bersama bahwa untuk membangun sebuah Negara Kebangsaan memerlukan keikhlasan untuk bersatu dengan melepaskan berbagai ambisi primordial lokal, ambisi etnis, ambisi kelompok dan ambisi pribadi secara proporsional.

Pada episode atau tahapan sejarah perjuangan bangsa, semangat seperti tersebut diatas benar-benar menjadi kenyataan. Ketika Budi Utomo dideklarasikan, Sumpah Pemuda dikumandangkan dan Kemerdekaan diproklamasikan muncul “keajaiban” luar biasa yang tiada diduga sebelumnya. Maka jangan heran bila pada penggalan sejarah tertentu akan lahir pemimpin-pemimpin bangsa secara alamiah yang memiliki jiwa perjuangan yang menakjubkan. Mereka datang berjuang dengan rela berkorban, tanpa pamrih, memiliki rasa persatuan dan kesatuan, rasa kebangsaan yang tinggi dan tentu tidak takut “penjara” bahkan mati sekalipun.

Kehebatan para pemimpin diseputaran kelahiran Budi Utomo tidak dapat disangkal oleh siapapun. Misalnya tokoh semacam Dr. Sutomo, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Dr. Tjipto Mangun Kusumo, Dauwers Decker, Ki Hadjar Dewantoro, HOS Tjokro Aminoto, KH Ahmad Dahlan dan lain-lain. Para pejuang ini mampu mengubah paradigma perjuangan dari perjuangan non kooperatif kearah kooperatif, dari fragmentalisme daerah kesukuan kearah Nasionalisme seutuhnya dan dari “elitis feodalis” kearah “generalis populis”.

Demikian pula kehebatan para pemuda yang menghadiri Konggres Pemuda II di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928 sungguh amat membanggakan. Ditengah-tengah kekejaman penjajah masih mampu membangun kebersamaan dan persatuan pemuda dengan melahirkan Sumpah Pemuda yang begitu kritis dan berani. Tentu acungan jempol patut diberikan kepada Sugondo Djoyo Puspito dkk. Dan jangan dilupakan Pemuda WR Supratman melalui gesekan biolanya memperdengarkan dengan beraninya lagu kebangsaan Indonesia Raya untuk pertama kalinya.

Belum lagi kehebatan Sang Proklamator Sukarno/Hatta. Sukarno dengan gaya oratornya yang memikat rakyat mampu membangunkan rakyat dari “tidur lelapnya”. Rakyat kita sadar kembali bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki harkat dan martabat yang besar pula. Nusantara adalah milik kita bukan milik penjajah. Pendek kata Sukarno mampu membangkitkan semangat nasionalisme yang tinggi pada rakyatnya. Sedangkan Moch Hatta adalah pemimpin panutan karena kejujuran, keikhlasan dan kekonsistenannya dalam berjuang. Ia dikenal sebagai ahli strategi konsep ekonomi kerakyatan yang tidak ada duanya saat ini. Argumen-argumen dan alasan yang disampaikan rasional, cerdas dan tajam sehingga membawa decak-kagum pengikutnya.

Kehebatan para pemimpin seperti tersebut diatas menjadi terasa tidak lengkap manakala tidak disertai dengan kebesaran jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan para pemimpin Agama kita. Dari kalangan Islam sebut saja KH Mas Mansyur, Anwar Tjokro Aminoto, KH Wahid Hasyim dan lain-lain. Sedangkan dari kalangan Non Islam seperti: Mr AA Maramis, Mr Latu Harhary, Dr. Sam Ratulangi dan lain-lain. Ketika memperdebatkan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 masing-masing menampakkan kebesaran jiwanya, demi untuk menjaga persatuan-kesatuan bangsa mereka dengan tulus ikhlas menerima rumusan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Rekontruksi Ulang.

Dari refleksi historis ditentukan sejumlah karakter bangsa Indonesia yang telah teruji selama berabad-abad yaitu patriotisme, kemandirian, harkat nasional dan kebanggaan nasional. Karena karakter tersebutlah maka perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme hingga dicapainya “”kulminasi” perjuangan yakni Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Dalam era Reformasi seperti sekarang ini karakter bangsa seperti itu masih sangat diperlukan, oleh karena itu perlu direkontruksi ulang sebagai “bahan acuan” pembangunan bangsa kedepan. Semangat kebangkitan nasional adalah semangat perjuangan yang tidak mengenal kata lelah untuk rela berkorban, menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan, menghargai sesama anak bangsa, bekerja sama dengan penuh kekeluargaan dan kegotongroyongan serta mencintai tanah air seutuhnya.

Menurut Dr Sukamto dan kawan-kawan (Fasli Jalal, 2001) Patriotisme dan perlawanan terhadap penjajah selama 350 tahun telah memperkokoh persatuan nasional tanpa konflik antar etnik dan antar agama. Bhineka Tunggal Ika tidak mengandung potensi konflik apabila diartikan secara benar dan keberagaman dikelola dengan baik. Tuntutan otonomi penuh dan kemerdekaan oleh daerah tertentu lebih karena rasa keadilan yang terusik baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Persatuan nasional akan tetap menjadi pengikat kesatuan bangsa, bila prinsip-prinsip keadilan dilaksanakan secara benar.

Berkembangnya “koalisi vested” di Era Orde Baru yaitu koalisi untuk mempertahankan kekuasaan dan selanjutnya menyalahgunakan kekuasaan dalam bentuk pemerintahan yang “kolutif”, koruptif dan Nepotis” kiranya bukan hal yang tidak bisa diatasi dan diberantas sepanjang ada kesungguhan dari pemerintah untuk membasminya. Kita harus optimis bahwa moral demokrasi, moral kemanusiaan, dan moral agama mampu menyelamatkan kehidupan berbangsa dan bernegara dari ancaman tindakan itu.

0 Responses to “MEREKONTRUKSI ULANG KEBANGKITAN NASIONAL”: